Rabu, 04 Maret 2015

KERUSAKAN HUTAN DI NUSA TENGGARA TIMUR SERTA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN MAKHLUK HIDUP KINI DAN NANTI




 BAB 1
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang.
Pembangunan membawa dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat tetapi dibalik semua itu ada sejumlah masalah berkaitan dengan lingkungan. Jika pembangunan dilakukan hanya memperhatikan faktor ekonomi saja maka faktor lingkungan akan dilupakan. Padahal masalah lingkungan bukan berpengaruh pada saat ini saja tetapi dampaknya sampai ke anak cucu. Negara-negara dunia ketiga dan berkembang selalu memacu pertumbuhan ekonomi agar kesejahteraan rakyatnya cepat tercapai. Mereka masih memperhatikan bagaimana cara menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyatnya, seperti pangan dan sebagainya. Namun negara-negara maju telah berpikir jauh ke depan tidak lagi dipusingkan dengan masalah-masalah tersebut, karena perekonomiannya sudah lebih baik. Mereka memikirkan agar masa depan lebih baik dengan lingkungan yang sehat dan mewariskannya kepada anak cucu.
Pembangunan bagai dua sisi mata uang pada satu sisi membawa kemakmuran bagi masyarakat dan pada saat yang sama menimbulkan kerusakan lingkungan akibat manusia hanya berpikir untuk manusia dan tidak berpikir secara menyeluruh mengenai lingkungan dimana ia barada. Banyak kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang terjadi karena tuntutan hidup dan rendahnya pengetahuan tentang lingkungan hidup itu sendiri. Negara terbelakang dan berkembang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Dengan pendidikan yang terbatas dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang mendesak membuat masyarakat miskin berusaha untuk mempertahankan hidupnya tanpa ada terlintas dalam pikirannya tentang kelestarian lingkungan. Apalagi jika masyarakat miskin itu tinggal di sekitar hutan, maka hutan akan menjadi sasaran eksploitasi yang menyebabkan kerusakan hutan. Kemiskinan masyarakat merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan tetapi masih banyak lagi faktor-faktor yang lain. Faktor perbedaan pandangan dan pemenuhan kebutuhan inilah yang membuat kerusakan lingkungan lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang. Bahkan negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi sasaran pembuangan limbah-limbah industri dari negara-negara maju. Contoh kerusakan lingkungan seperti pencemaran lingkungan yang terjadi dengan intensitas yang berbeda-beda, baik dari pembuangan limbah yang tidak beracun sampai kepada limbah beracun yang sangat berbahaya.
Sumber daya alam merupakan sesuatu yang terdapat di muka bumi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan segala sesuatu yang terdapat di hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya hutan sangat bersifat dinamis berubah dari waktu ke waktu, dari tempat satu ke tempat yang lain.seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui, harus dilestarikan mulai dari sekarang, karena jika tidak dilestarikan, kelestarian alam akan terganggu. Hutan mempunyai banyak fungsi, Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber daya hutan terbesar di dunia. Banyak sekali spesies tanaman yang terdapat di dalam hutan Indonesia. Hutan merupakan sumberdaya yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Namun ada fakta yang menggelisahkan terkait pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatannya untuk kepentingan manusia.
Degradasi hutan kini merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan dimuka bumi padahal kita tahu bahwa hutan bukanlah warisan nenek moyang, tetapi pinjaman anak cucu kita yang harus dilestarikan bagi kepentingan nanti. Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak didominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitatif yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.
Berdasarkan uraian pentingnya hutan diatas, maka perlu adanya upaya meneropong masalah ini dalam konteks wilayah Nusa Tenggara Timur sebagaimana akan diuraikan pada makalah ini. Bagaimana kerusakan hutan di Nusa Tenggara Timur serta dampaknya bagi kehidupan makhluk hidup kini dan nanti.

b.      Perumusan Masalah
Yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini adalah :

  1. Bagaimanakah permasalahan lingkungan di Indonesia dan Nusa Tenggara Timur.
  2. Bagaimanakah fakta kerusakan hutan di NTT.
  3. Apa saja upaya pihak terkait dalam mengurangi kerusakan lingkungan di Nusa Tenggara Timur.

c.       Tujuan dan Kegunaan
c.1. Tujuan penulisan
      Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.    Sebagai bagian dari upaya menemukan permasalahan lingkungan di Indonesia dan khususnya di NTT.
2.   Menguraikan fakta kerusakan hutan di NTT dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kerusakan hutan serta upaya memperbaiki kerusakan yang ada.
c.2. Kegunaan Penulisan
      Kegunaan dari makalah ini adalah :
1.  Menjadi referensi bagi penulis selanjutnya dalam pembahasan tentang kerusakan lingkungan khususnya kerusakan hutan di wilayah Nusa Tenggara Timur
2.   Menjadi bahan pembelajaran bagi pembaca untuk turut serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan khususnya hutan bagi kepentingan kini dan nanti





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a.      Lingkungan Hidup.
Lingkungan yaitu suatu media dimana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks. Selain itu, lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biotik (makhluk hidup) dan abiotik (benda mati). Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Dalam kamus lingkungan hidup yang disusun Michael Allaby (1979), lingkungan hidup itu diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.  McNaughton dan Wolf (1973) mengartikan lingkungan hidup dengan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme. Seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) terkemuka mendefinisikan lingkungan hidup sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita (Soemarwoto;2001).  Danusaputro (1980), ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. Selanjutnya (UUPLH 1982), mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Beroya (2000) mendefinisikan lingkungan sebagai segala sesuatu yang melingkupi organism yang dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya, pada saat yang sama juga dapat memengaruhi lingkungannya. Lingkungan juga merupakan semua benda atau kondisi dimana manusia dan aktifitasnya terdapat dalam ruang dimana manusia tersebut memengaruhi kelangsungan hidupnya. Jadi semua hal termasuk manusia merupakan lingkungan dan perubahan diantara keduanya akan saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnnya (Darsono;1992). 

b.      Kerusakan Lingkungan.  
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin hari kian parah. Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu (kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan. World Risk Report yang dirilis German Alliance for Development Works (Alliance), United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya risiko bencana di suatu kawasan.
Sejak beberapa dasawarsa terakhir masyarakat dunia termasuk akademisi semakin concern terhadap masalah-masalah lingkungan, ini diakibatkan oleh karena manusia menghadapi suatu realitas dimana bumi kita hanya satu itu semakin ringkih akibat semakin dijejali oleh beban yang sangat berat. Beban berat bagi lingkungan dipicu oleh populasi penduduk yang kian bertambah menjadi 7 milyard pada tahun 2011, disamping itu juga oleh teknologi yang dikembangkan manusia untuk menopang kehidupan bersifat ambivalen, dan mentalitas manusia yang serakah dan tidak peduli lingkungan. Degradasi lingkungan berjalan semakin cepat karena sumber daya alam yang diambil, dikelola dimanfaatkan dan membuang limbahnya mempergunakan media lingkungan. Pencemaran lingkungan semakin intensif karena berkembangnya industry diberbagai kawasan, diberbagai Negara dengan jalan membangun berbagai jenis pabrik baik berskala kecil, maupun berskala besar. Industri menjadi pilihan yang mutlak karena melalui industri akselerasi pencapaian tingkat kesejahteraan. Penduduk yang bertumpu pada sektor primer tingkat perkembangan kesejahtraan sangat lambat, kalau tidak didukung oleh teknologi melalui indusrialisasi (Arjana; 2013)
Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi, banjir, abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami merupakan beberapa contoh bencana alam . Bencana-bencana tersebut menjadi penyebab rusaknya lingkungan hidup akibat peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana seperti banjir, abrasi, kebakaran hutan dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya campur tangan manusia juga. Penyebab kerusakan lingkungan yang kedua adalah akibat ulah manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.

c.       Hutan dan Kerusakan.
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Jenis-jenis hutan yang ada di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (1999) , antara lain :

  1. Hutan Bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur Kalimantan, pantai selatan Cilacap.
  2. Hutan Sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa Tenggara Timur.
  3. Hutan Rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan.
  4. Hutan Hujan Tropis  adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ekuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan Kalimantan, hutan Sumatera, dan sebagainya.
  5. Hutan Musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan. Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
  1. Hutan Wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan/binatang langka agar tidak musnah/punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai bukan hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.
  2. Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.
  3. Hutan Lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
  4. Hutan Produksi/Hutan Industri yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak. (Suparmoko : 1997 ; 239)

Berdasarkan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputinya yaitu: a. Suatu kesatuan ekosistem, b. Berupa hamparan lahan, c. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, d. Mampu memberi manfaat secara lestari.
Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan areal hutan karena kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan ditambah juga penggundulan dan alih fungsi lahan hutan atau istilahnya deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry Research) menelaah tentang penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan berpindahperambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman, pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara illegal oleh oknum-oknum. Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon dirubah menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologis di areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai habitatnya akan berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negative terhadap emisi gas rumah kaca.
Pengertian degradasi hutan memiliki arti yang berbeda dan bervariasi tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi.
Adapun fungsi hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah, menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional pada umumnya, melindungi suasana iklim ataupun pengatur suhu lingkungan, memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, dan taman wisata serta berbagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata, sebagai penyaring udara. Hutan dapat menyerap CO2 di lingkungan yang sedang tercemar oleh asap kendaraan bermotor, asap pabrik ataupun gas buangan lainnya, hutan merupakan pelindung terhadap angin. Lebatnya vegetasi di suatu hutan  mengurangi dan mencegah kencangnya tiupan angin yang terlalu kuat bagi  tanaman budidaya ataupun bagi daerah pemukiman,  hutan merupakan penyangga hama dan penyakit. Jika pada suatu waktu timbul ledakan suatu penyakit atau hama, maka akibatnya bisa diperkecil karena penampungan oleh hutan. (Suparmoko : 1997 ; 235).


5.       

BAB III
PEMBAHASAN

1.      Permasalahan Lingkungan.
Isu-isu aktual tentang  lingkungan semakin beragam karena lingkungan hidup manusia menjadi tumpuan makhluk hidup, tumpuan umat manusia untuk hidup dan berkembang sehingga memicu munculnya berbagai konflik dan kepentingan. Dalam beberapa hal konflik-konflik itu memicu munculnya kegalauan manusia menghadapi realitas kehidupan. Sampai awal 2012, dapat diinventarisasi isu-isu lingkungan baik yang sifatnya lokal, nasional maupun global seperti berikut :

  1. Perubahan iklim global
  2. Krisis energi, terutama energy yang berasal dari fosil
  3. Krisis sumber daya alam, karena telah terjadi deplesi
  4. Degradasi hutan, terutama hutan di negara-negara tropis
  5. Polusi air, lahan, dan udara, yang disebabkan oleh industrialisasi dan perkembangan alat transportasi
  6. Bangkitnya komunitas lokal yang sadar akan hak lingkungan hidup sehat
  7. Bangkitnya komunitas lokal anti tambang yang menuntut keadilan
  8. Tantangan pembangunan berkelanjutan yang usianya lebih dari dua decade
  9. Bencana alam yang jenis, frekwensi dan intensitasnya makin besar (Arjana ; 2013)

Beberapa fakta terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia akibat kegiatan manusia antara lain:
  1. Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna.
  2. Tigapuluh persen dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut.
  3. Tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran laut di Indonesia. Bahkan pada 2010, Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai paling tercemar di dunia oleh situs huffingtonpost.com. World Bank juga menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City.
  4. Ratusan tumbuhan dan hewan di Indonesia yang langka dan terancam punah. Menurut catatan IUCN Redlist (2001), sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered, serta  557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.
Khusus mengenai kerusakan lingkungan dalam hal ini kerusakan hutan di Indonesia terutama disebabkan:
1.     Sistem perladangan berpindah. Sistem ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal di kawasan atau  di pinggir hutan. Pertanian  dilakukan  dengan cara yang masih sangat  sederhana yaitu dengan cara menebang pohon dan  lalu dikeringkan dan kemudian dibakar. Selanjutnya tanah  yang merupakan lahan pertanian tidak diolah, melainkan langsung ditanami. Lahan pertanian  ini dimanfaatkan hanya  dalam jangka waktu  3-4 tahun.  Jika sudah tidak diolah lagi sebagai lahan pertanian, maka akan ditinggalkan. Pada dasarnya sistem perladangan berpindah tidak berdampak negatif terhadap lingkungan karena luas lahan  yang dibuka  relatif  sempit   yaitu berkisar antara  2-3 hektar. Akan tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai berkembang, maka degradasi hutan Indonesia menjadi semakin luas dan bertambah parah kondisinya. Sistim ini paling banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur.
2.   Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH. 
3.      Perambahan hutan. Perambahan hutan adalah pemanfaatan kawasan hutan secara illegal oleh masyarakat untuk digunakan sebagai lahan usaha  pertanian dan  pemukiman. Masyarakat yang merambah hutan disebut sebagai perambah hutan. Perambah hutan tidak selalu bermukim di areal hutan yang dirambah, tetapi ada juga yang  tinggal diluar kawasan hutan. Pada umumnya perambahan hutan dilakukan  oleh penduduk karena jumlah  penduduk  yang semakin bertambah namun jumlah lahan tetap, sehingga banyak penduduk yang tidak memiliki lahan.
4.   Pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan) adalah izin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk untuk kegiatan tebang pilih di hutan alam selama periode tertentu, pada umumnya 20 tahun, dan diperbaharui untuk satu periode selanjutnya, pada umumnya 20 tahun lagi. Pemberian izin HPH ini memberikan kontribusi positif dalam hal penerimaan negara, namun demikian di sisi lain izin  HPH juga meninggalkan suatu permasalahan baru yaitu kerusakan hutan. Persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur pengusahaan hutan tidak dilaksanakan sehingga kayu hutan dibabat habis. Kerusakan hutan terkait dengan pengusahaan hutan ini  antara lain  dapat  disebabkan  karena kurangnya pengawasan, mentalitas dan integritas pengawas yang buruk, pengusaha kurang bertanggungjawab, dan sikap pengusaha yang tidak peduli pada lingkungan. Kerusakan hutan akibat bencana alam relatif kecil, kecuali jika terjadi kebakaran hutan karena petir, namun hal ini jarang terjadi. Penyebab kebakaran hutan yang banyak terjadi adalah oleh ulah manusia. Bencana alam lainnya seperti longsor dan badai biasanya tidak menyebabkan kerusakan hutan yang berarti karena terjadi pada perluasan yang terbatas/sempit (Eddy : 2003). Sebagai contoh lain terkait dengan HPH adalah alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit sebagai bagian dari persekongkolan antara pengusaha, penguasa dan kreditur asing sejak masa orde baru hingga orde reformasi kini. Banyak pemilikk modal mengeruk keuntungan besar dari komoditas kelapa sawit dan pada saat yang sama hutan dirusak dan diambil hasilnya untuk kepentingan segelintir manusia. Sewaktu hutan masih lebat, para pemilik modal mengeruk keuntungan melalui perusahaan kertas dan bubur kertas, setelah lahan dibuka dan ditanami tanaman perkebunan para pengusaha diuntungkan dengan komoditas kelapa sawit yang sangat laku dipasar dunia. Data dirjen perkebunan RI perkebunan  kelapa sawit mengalami perluasan yang sangat pesat. Perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) yang pada awal perkembangannya diawal 1980-an hanya memiliki luas sebesar 3.125 ha, pada tahun 2009 telah berkembang menjadi hampir 3 juta ha. Dengan kata lain dalam kurun waktu 30 tahun telah berlangsung perluasan sebanyak seribu kali. Sedangan untuk kategori perusahaan perkebunan Negara (PBN) pada tahun 1967 luasnya hanya 65.573 ha menjadi 617.169 ha pada tahun 2009. Dalam kurun waktu yang sama, kawasan perkebunan kelapa sawit dari perusahaan perkebunan swasta telah tumbuh dari sekitar 40.253 ha menjadi 3,5 juta hektar. Perusahaan yang menguasai hutan tersebut antara lain Nestle, Unilever dan Sinar Mas (Setiawan ; 2011).
5.  Penegakan Hukum yang Lemah. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan.
Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
6.   Mentalitas Manusia yang sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitatif yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.
7.   Kerusakan hutan dan  penyusutan luas lahan hutan di Indonesia setiap tahunnya sebagian besar diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah/daerah di Indonesia. Karena jumlah penduduk  yang terus bertambah,  degradasi hutan  pun terus meningkat. Di samping itu dengan pembangunan yang terjadi banyak melakukan kegiatan yang merambah hutan, misalnya transmigrasi, pembalakan dan pertambangan. Sebenarnya pembalakan dan perladangan tradisional yang dikelola dengan  baik tidak perlu memusnahkan hutan. Sayangnya banyak kegiatan itu tidak dikelola dengan baik sehingga menyebabkan kerusakan dan meningkatkan laju degradasi hutan.

2.      Kerusakan Hutan di  Nusa Tenggara Timur.
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada 8˚2’25” – 11˚1’ LS dan 118˚55’ – 25˚1’ BT. Luas daratannya sekitar 25% dari luas total wilayah (47.354,90 Km²) dan terdiri dari 566 pulau, di mana 524 diantaranya tidak dihuni. Merupakan salah satu wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) daerah beriklim kering (semi arid) yang didominasi oleh lahan kering. Wilayah Nusa Tenggara Timur secara agroklimat tergolong sebagai wilayah semiarid dengan ciri musim penghujan yang singkat (3-4 bulan) dan musim kemarau yang panjang (7-9 bulan). Lahan yang dapat dijadikan lahan usaha pertanian (arable lands) di NTT seluas 1.657.858 ha atau meliputi 49,48% dari luas total wilayah daratan NTT yang terdiri atas 127.323 ha (7,68%) untuk usaha pertanian lahan basah (sawah) dan seluas 1.530.535 ha atau 92,32% adalah lahan kering (dryland) (Woha, 1994). Faktor-faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi pengembangan pertanian di Nusa Tenggara Timur adalah topografi dan mutu tanah. Wilayah ini didominasi oleh perbukitan dan gunung sehingga lahan pertanian terbatas. Adanya lereng-lereng yang curam menyebabkan resiko erosi tanah yang tinggi. Berdasarkan kondisi topografinya, sebesar 70% dari luas wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki kemiringan di atas 50%. Sehingga secara alamiah peluang pemiskinan lahan akibat erosi cukup besar yang masih diperparah lagi oleh ulah manusia dengan kebiasaan membuka lahan pertanian dengan cara sistem tebas dan bakar sehingga lahan kritis di NTT mencapai 34% dari luas wilayahnya. Penduduk yang hidup dan tinggal di lingkungan semiarid yang kering dan bergunung-gunung menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan jawaban agar mereka mampu mempertahankan hidupnya, mendorong penduduk menyesuaikan diri dengan lingkungannnya. Ancaman terhadap kelestarian lingkungan masih cukup tinggi karena peladangan berpindah masih terjadi, teknologi “tebas bakar” masih dilakukan secara luas dan peranan ternak dalam kegiatan usahatani masih terbatas, sedangkan gangguan hewan ternak terhadap usahatani masih cukup tinggi. Pola pertanian yang dilakukan di NTT adalah peladangan berpindah, sistem tumpangsari dan budidaya lorong. Kegiatan ladang berpindah merupakan usaha tani input rendah yang umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik pemangkasan semak-semak dan penebangan beberapa pohon. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan proses pembakaran semak-semak yang telah dipangkas. Saelain itu, adapula yang tidak melakukan kegiatan pembakaran.
Menurut Kasumbogo (2001), pembakaran padang alang-alang dimusim kemarau oleh petani peladang bertujuan agar merangsang pertumbuhan rumput-rumput muda sehingga persediaan pakan untuk hewan ternak tetap tersedia. Pembakaran juga memudahkan petani untuk menugal benih tanaman pangan sehingga petani tidak perlu melakukan pengolahan tanah. Manfaat lain dari pembakaran jaringan tumbuhan adalah terbentuknya abu hasil pembakaran dalam jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah sedangkan unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya (Ewusie,1990). Pembakaran yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif terhadap lingkungan apalagi kondisi iklim di Kawasan Timur Indonesia yang sebagian adalah beriklim kering. Sesudah kegiatan pembakaran, tanah menjadi terbuka dan erosi akan lebih cepat terjadi pada saat musim hujan dan mempercepat habisnya tanah lapisan atas (top soil). Akibat dari erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30 cm akan habis dalam jangka waktu 3-4 tahun (Suwardjo, 1994). Pembakaran yang terlalu sering dilakukan dan waktu pembakaran yang dilakukan pada penghujung musim kemarau akan mempunyai dampak negatif yang sangat besar dan luas terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah maupun terhadap bahaya erosi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Kawasan hutan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dianggap kering dan gersang ternyata tidak menjadi pemahaman untuk menambah dan memperluas kawasan hutan. Justeru hutan di wilayah ini terus berkurang. Pemerintah Propinsi NTT (Dinas Kehutanan NTT, 2014) mengemukakan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini kerusakan hutan mencapai 15.163,65 hektar. Kenyataan ini mengancam kelestarian hutan dan lahan di masa mendatang. Potensi hutan dan lahan di NTT seluas 2.109.496,76 hektar atau 44,55 persen dari luas wilayah daratan NTT yang mencapai 47.349,9 kilometer persegi. Hutan dalam kawasan hutan mencapai 661.680,74 hektar dan di luar kawasan hutan seluas 1.447.816,02 hektar. Dari total potensi hutan itu hanya 14 persen atau 295.329,44 hektar di antaranya yang dikategorikan sebagai hutan lebat penghasil kayu. Selebihnya 1.814.617,3 hektar merupakan kawasan kritis sehingga produksi kayu lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat NTT. Kebutuhan kayu rakyat NTT didatangkan dari Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Wetar dan daerah kawasan hutan lainnya.
Luas hutan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No 423 Tahun 1999 1.808.990 hektar. Kawasan hutan ini terbagi dalam tiga fungsi, yakni hutan lindung seluas 41 persen, hutan produksi seluas 40 persen dan hutan 19 persen hutan konservasi. Propinsi diberi kewenangan untuk mengelola hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan hutan konservasi dikelola oleh oleh Departemen Kehutanan. Namun kondisi hutan tersebut terus mengalami kerusakan. Bahkan hingga tahun 2003, luas hutan di NTT berdasarkan foto citra satelit telah mengalami kerusakan. Diperkirakan, hingga tahun 2014, kerusakan hutan semakin meluas seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tingkat kerusakan hutan jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasi hutan. Perbandingan tersebut adalah 4 berbanding 1, sehingga luas hutan terus berkurang karena upaya rehabilitasi dan reboisasi yang dilakukan kalah cepat dibandingkan laju kerusakan hutan. Bila kondisi ini terus berlanjut, dipastikan suatu saat hutan di NTT akan habis. Pertambahan jumlah penduduk inilah yang menyebabkan kawasan hutan menjadi sempit, karena kawasan yang tadinya hutan dirambah hingga menjadi kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan.  Beberapa penyebab kerusakan hutan di NTT adalah pembakaran lahan yang berakibat pada kebakaran hutan, penebangan liar, bencana alam dan pola berladang secara berpindah- pindah. Perilaku warga yang membiarkan ternak berkeliaran bebas dalam kawasan hutan juga menjadi andil kerusakan hutan. Ternak juga bisa menjadi perusak hutan, misalnya ternak memakan kulit pohon, sehingga pohon mati. Perilaku lainnya adalah berburu dengan cara membakar lahan. Ini masih sering terjadi di beberapa daerah di NTT. Ada juga kebakaran hutan yang terjadi karena alam. Hal ini biasanya pada kawasan padang rumput yang dekat dengan hutan. Namun ini terjadi bila ada angin, panas dan bahan yang muda terbakar. Biasanya, rumput kering yang mudah terbakar saling bergesekan karena angin hingga menimbulkan panas. Panas ini bila terkena pada media yang mudah terbakar seperti rumput kering, akan tumbul titik api hingga menjadi kebakaran. Meski demikian, pola perusakan hutan yang dilakukan oleh manusia masih lebih banyak ketimbang hal lain.
Khusus untuk hutan lindung, sejumlah hutan lindung di wilayah Nusa Tenggara Timur mulai dirambah, terutama setelah pasokan kayu dari propinsi lain terhenti (Subdinas Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan NTT). Aksi penebangan ilegal itu dikhawatirkan membuat hutan NTT musnah dalam waktu 15 tahun mendatang. Savana mendominasi daratan NTT yang luasnya 47.749,5 kilometer persegi. Adapun hutan hanya sekitar 30 persen, tetapi pepohonannya terus ditebang. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang, kebakaran hutan terjadi di banyak bagian di NTT saat kemarau akibat perladangan berpindah dan anggapan masyarakat bahwa setelah lahan dibakar akan tumbuh rumput muda yang merupakan pakan ternak. Kondisi hutan makin memrihatinkan akibat pembalakan. Penebangan liar terjadi setelah sejumlah propinsi yang selama ini mengirim kayu olahan ke Kupang dan sekitarnya menghentikan pasokan. Sementara pembangunan perumahan dan kantor terus berjalan.  Peningkatan jumlah turut memacu aksi pembalakan karena kebutuhan akan perumahan terus meningkat. Pada 1999, penduduk NTT sekitar 3 juta jiwa dan menjadi 4,3 juta jiwa pada 2006.
Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar di bumi:

  1. Efek Rumah Kaca (Green house effect). Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas CO2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara) akan menyebabkan kenaikan gas CO2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali kepermukaan bumi oleh lapisan CO2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering.
  2. Kerusakan Lapisan Ozon. Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi.
  3. Kepunahan Spesies. Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini.
  4. Merugikan Keuangan Negara. Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia.
  5. Banjir. Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Nusa Tenggara Timur (Benenain,  Amanuban Selatan, Amanatun selatan dan di Kabupaten Malaka) adalah contoh nyata.


3.  Upaya Pihak Terkait Dalam Mengurangi Kerusakan Lingkungan Khususnya Kerusakan Hutan.
Konsep Marx tentang keterasingan manusia dari alam atau yang diistilahkan dengan perampasan alam dengan naluri borjuis penting dipahami mengingat perampasan itu terjadi biasanya diakibatkan oleh keterasingan manusia dengan menganggap dirinya paling utama dan diatas segalanya dalam alam semesta ini. Pandangan ekologis perlu ditimbulkan pada diri manusia agar antroposentrisme dalam benaknya berubah menjadi makhluk yang sadar betapa tidak mungkin ia hidup sendiri tanpa makhluk lain disekitarnya. Upaya manusia untuk mengekslploitasi alam tanpa memperhatikan nilai-nilai ekologis sangat penting dibatasi karena pandangan Promethean merupakan pandangan manusia yang pro pada teknologi dan anti akan ekologis. Persoalan pandangan teknologi kapitalis yang melewati batas-batas ekologis tanpa berpikir tentang masa depan perlu diganti dengan pemikiran sosialisme yang sadar ekologis dengan upaya pengalokasian sumberdaya- sumberdaya langka untuk kepentingan masa depan manusia dan makhluk lainnya. Berikut pandangan tentang efek teknologi bagi lingkungan patut dikaji dengan baik, sebab perkembangan dan dinamika perubahan dibidang iptek bagaikan dua sisi koin yang berdampingan selalu (Foster;2000).
Memang terjadi kontradiksi antara penguasaan alam dan konsep keberlanjutan (sustainability) yang harus dipahami dengan baik, namun yang pasti pemikiran antroposentrik rasanya tidak tepat digunakan dalam bagaimana memaknai hubungan dengan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia melainkan konsep keberlanjutanlah (sustainability) yang paling pantas digunakan dalam memahami alam dan interaksi dalamnya.  Maka beranjak dari konsep “penguasaan alam” Caudwell menulis dalam illusion and reality, (1973), bahwa manusia, dalam perjuangannya dengan alam (yakni perjuangan mereka untuk kemerdekaan) memasuki hubungan tertentu dengan masing-masing lainnya untuk memenangkan kemerdekaan itu. Tapi manusia tidak dapat mengubah alam tanpa mengubah diri sendiri. Pemahaman penuh saling interpenetrasi gerakan refleksif antara manusia dan alam dimediasi oleh kebutuhan dan hubungan-hubungan yang berkembang yang dikenal sebagai masyarakat, adalah pengakuan kebutuhan, tidak hanya dalam alam, namun dalam diri kita sendiri, dan dengan demikian dalam masyarakat. Dilihat secara aktif hubungan subyek-obyek ini adalah  sains, dilihat secara subyektif adalah seni; namun seperti kesadaran tumbuh dalam kesatuan aktif dengan praktek, itu sederhananya adalah kehidupan konkrit-keseluruhan proses kerja, merasa, berpikir dan berkelakuan seperti individu manusia dalam sebuah dunia individu-individu dan alam. Pengantar persepsi diatas mengantarkan kita pada pemahaman betapa manusia perlu merefleksikan kembali tentang bagaimana akar permasalahan kita ada pada peringatan Malthus tentang pertumbuhan penduduk yang perlu ditekan sebelum terjadinya perampasan sumberdaya dan kesewenang-wenangan terhadap alam dan makhluk hidupa lainnya oleh manusia.
Khusus pada konteks kerusakan lingkungan-kerusakan hutan, perlu upaya strategis merubah paradigm dan menuju pada langkah-langkah konkrit sebagai pelengkap mengatasi persoalan lingkungan yang ada disekitar kita. Adapun upaya mengatasi kerusakan hutan dapat dilakukan cara-cara konkrit seperti  :
  1. Menyadarkan masyarakat akan dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan dan tidak melakukan . penebangan hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan yang memotivasi warga untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Memberikan penyuluhan tentang pentingnya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pembangunan yang ramah lingkungan. Khusus mengenai sistim perladangan berpindah perlu penanganan serius untuk memperkenalkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan sehingga sistim tebas bakar perlahan-lahan ditinggalkan. Gerakan yang telah dilakukan pemerintah adalah Gerakan Nasional Penanaman Pohon untuk menopang ketahanan pangan dan energy sesuai dengan Keppres No. 24 tahun 2008 tentang hari menanam pohon Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon Nasional sebagai upaya mewujudkan visi pembangunan  berkelanjutan yang sensitive lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global.
  2. Menetapkan peraturan-peraturan tentang yang mengatur penebangan hutan kemudian diikuti dengan pengawasan,pengendalian, dan pengelolaan hutan. Peraturan dapat berupa peraturan formal misalnya Undang-undang tentang lingkungan hidup Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang pokok-pokok pengelolaan Lingkungan hidup atau kesepakatan antar warga dengan kearifan lokal dan kekayaan budaya yang ada.
  3. Pentingnya sumbangan pendidikan Geografi sebagai sistim pendidikan yang mengkaji ekologi (lingkungan) secara mendalam. Peserta didik merupakan penerus kehidupan manusia perlu dibekali dengan pemahaman mendalam terkait pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Geografi dengan tiga pendekatan kajiannya (keruangan, kelingkungan dan kompkleksitas wilayah) mempelajari secara khusus tentang lingkungan (perilaku, gejala) habitat, site, territorial lingkungan alam fisik (physical natural environment), lingkungan budaya (cultural environment), persepsi, sumber daya (resources), kualitas tanah, potensi tanah, konservasi, ekosistem, equilibrium, efisiensi. Geografi secara khusus mempelajari permasalahan keruangan dan pembangunan, penilaian dampak lingkungan norma dan kriteria dampak lingkungan, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini langkah jangka panjang mempersiapkan manusia yang ahli dan bertanggung jawab, bertindak dengan berpikir keberlanjutan.
  4. Praktisnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah untuk mengatasi kerusakan hutan antara lain : Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan harus segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan harus untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan pemulihan terhadap kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada 10-15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti dahulu. Pelaksanaan penghijauan tersebut harus lebih mengaktifkan masyarakat lokal (masyarakat yang berada di sekitar hutan ) untuk secara sadar dan spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut. Langkah kedua, pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta rekayasa kehutanan. Langkah ketiga adalah   pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong - cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal - hal yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya pemerintah mengadakan revisi terhadap undang - undang tersebut sepanjang tujuan awal pembuatan undang - undang itu tidak dilanggar. Langkah terakhir adalah adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini. Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri. Pemerintah harus melakukannya secara kontinyu dan terus - menerus sehingga kalaupun ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat segera diambil langkah yang tepat serta dapat mengurangi akibat bencana/ disaster yang akan ditimbulkan kemudian.




Bab IV
Penutup
a.      Kesimpulan.  
Isu-isu aktual tentang  lingkungan semakin beragam karena lingkungan hidup manusia menjadi tumpuan makhluk hidup, tumpuan umat manusia untuk hidup dan berkembang sehingga memicu munculnya berbagai konflik dan kepentingan. Beberapa fakta terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan manusia dibanding kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Khusus mengenai kerusakan lingkungan dalam hal ini kerusakan hutan di Indonesia dan di Nusa Tenggara Timur terutama disebabkan oleh,  Sistem perladangan berpindah, Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif Negara, Perambahan hutan, Pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan), Penegakan Hukum yang Lemah, pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah/ daerah di Indonesia dan Mentalitas Manusia yang sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan.
Pemerintah Propinsi NTT (Dinas Kehutanan NTT, 2014) mengemukanan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini kerusakan hutan mencapai 15.163,65 hektar. Kenyataan ini mengancam kelestarian hutan dan lahan di masa mendatang. Diperkirakan, hingga tahun 2014, kerusakan hutan semakin meluas seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tingkat kerusakan hutan jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasi hutan. Perbandingan tersebut adalah 4 berbanding 1, sehingga luas hutan terus berkurang karena upaya rehabilitasi dan reboisasi yang dilakukan kalah cepat dibandingkan laju kerusakan hutan. Bila kondisi ini terus berlanjut, dipastikan suatu saat hutan di NTT akan habis.
Berangkat dari data diatas, adapun upaya Pihak Terkait Dalam Mengurangi Kerusakan Lingkungan Khususnya Kerusakan Hutan antara lain, penyadaran kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan, Gerakan yang telah dilakukan pemerintah adalah Gerakan Nasional Penanaman Pohon untuk menopang ketahanan pangan dan energi, Menetapkan peraturan-peraturan tentang yang mengatur penebangan hutan kemudian diikuti dengan pengawasan,pengendalian, dan pengelolaan hutan, sumbangan pendidikan Geografi sebagai sistim pendidikan yang mengkaji ekologi (lingkungan) secara mendalam, dan berbagai langkah konkrit oleh semua pihak terkait dalam upaya melestarikan lingkungan khususnya mengurangi dampak kerusakan lingkungan di Nusa Tenggara Timur.  

b.      Saran.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka beberapa saran dapat dikemukakan antara lain :
  1. Mencermati fakta dan data kerusakan lingkungan khususnya kerusakan hutan yang sangat fatal,  maka disarankan kepada semua pihak untuk benar-benar mempelajari persoalan lingkungan khususnya terkait dengan kerusakan hutan dan mengawal segala peraturan serta rencana yang telah ditetapkan agar dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan khususnya kerusakan hutan umumnya di Indonesia dan khsususnya di Nusa Tenggara Timur.
  2. Sistim perladangan berpindah dan praktek-praktek bertani masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan telah berlangsung turun-temurun perlu dikaji kembali dan disosialisasikan agar ada budaya baru dalam bertani yang lebih ramah lingkungan.   
  3. Kepada akademisi, aktifis dan ilmuwan untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan guna memberi data yang akurat dan pasti terkait kerusakan hutan yang terjadi serta kemungkinan dampak yang timbul agar dapat diantisipasi dengan berbagai kegiatan bernuansa pemeliharaan lingkungan, khususnya menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan agar sensitif lingkungan, kerusakan hutan dan berparadigma pembangunan berkelanjutan.






Daftar Pustaka

Alfandi Widoyo, 2001;  Epistemologi Geografi, Gadjah mada University Press, Yogyakarta
Arjana I. Gusti Bagus, 2013: Geografi Lingkungan-Sebuah Introduksi, Rajawali Press, Jakarta
Bintarto, Hadisumarno Surastopo, 1979; Metode Analisa Geografi, LP3ES, Jakarta
Foster Jhoni Bellamy, 2013; Ekologi Marx-Materialisme dan Alam, Printmax, Jakarta
Hidayatullah M, 2008; Rehabilitasi Lahan Dan Hutan Di Nusa Tenggara Timur (Land and Forest Rehabilitation in East Nusa Tenggara), Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Kupang
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_masalah_lingkungan
http://organisasi.org/macam-jenis-hutan-di-indonesia-dan-fungsi-hutan-untuk-kehidupan-di-muka-bumi-ipa-geografi
Numberi Freddy, Transportasi dan Perubahan Iklim, Buana Ilmu Populer, Jakarta
Prasetyantoko Agustinus, Setiawan Dani, 2011; Pendanaan Iklim-antara kebutuhan dan keselamatan rakyat, Walhi, Jakarta
Soemarwoto Otto, 2001; Analisis Mengenal Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
www.republika.co.id




2 komentar: