Selasa, 18 Januari 2011

ANTARA JAMBRET DAN KORUPTOR

Seorang Sosiolog bangsa kita yang sangat dikenal bahkan reputasinya mendunia Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat. Perubahan tersebut mempengaruhi sistem sosialnya termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku antara individu maupun kelompok dalam masyarakat. Perubahan bisa saja dikehendaki dan dengan sengaja atau terprogram dilakukan sebagai bagian untuk memperbaharui sebuah kehidupan seperti pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi adapula perubahan yang tidak kita kehendaki atau tidak sengaja hadir dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dan bisa bernilai, bisa pula mengganggu kebudayaan sampai pada tingkatan lapisan masyarakat terkecil. Ada perubahan yang progresif dengan hasil yang memuaskan tetapi adapula perubahan yang regresif yang tidak kita inginkan terjadi karena berakibat buruk. Mendalami pendapat sang sosiolog diatas maka sebenarnya tak dapat kita pungkiri bahwa bangsa kita sementara digerogoti oleh sebuah perubahan yang regresif bahkan ada kesan kuat akan terciptanya pengaruh budaya baru sebagai akibat perpaduan kebudayaan dan kebiasaan antar kelompok dalam masyarakat.

Pada cakupan yang lebih kecil sesungguhnya Nusa Tengara Timur dan Kota Kasih tercinta sementara di jangkiti regresifnya kehidupan sosial kemasyarakatan, pola dan gaya hidup baru, juga sebagai bagian dari berkembangnya perpaduan pengetahuan, teknologi dan inovasi baru dalam peradaban kemanusiaan. Tak pelak lagi sejumlah fakta dapat dengan telanjang mata kita temui disekitar kita sebagai bukti negeri kita sementara digoncang budaya baru yang mengkhawatirkan bagi anak dan cucu kelak.

Beberapa waktu terakhir media Kota Kupang diramaikan dengan berita soal perampokan jalanan alias jambret yang beraksi dan merampas paksa (bahkan tak segan-segan memukul dan menganiaya korban) barang milik warga baik itu tas, dompet, uang cash, barang berharga semisal handphone, emas dan lain-lain. Adapula berita terkait pencurian di rumah warga yang disertai kekerasan dengan sasaran barang curian yang sama seperti handphone, barang emas, ternak dan barang elektronik bahkan merambah ke kendaraan bermotor. Lalu versi lain yakni penipuan dan tindakan pemerasan via telephone/handphone dengan banyak alasan antara lain pemenang undian, anak kecelakaan, suami kecelakaan dan lainnya seperti yang dialami salah satu kenalan saya baru-baru ini. Uang 11 juta Rupiah harus raib karena seorang penelpon gelap menginformasikan kepada teman saya bahwa suaminya celaka dan korban harus segera mentransfer uang untuk biaya tebus kerumah sakit disalah satu rumah sakit di Kota Kupang. Gaya bahasanya dan segala sesuatu dalam komunikasi berjalan seolah-olah mereka sudah saling kenal, pelaku peduli, pelaku begitu akrab dengan korban dan semuanya berjalan dengan lancar sampai akhirnya uang harus ditransfer dan korban baru sadar setelah uang dikirimkan bahwa ia tertipu. Memang fenomena menarik karena kita belum lama lepas dari cerita ”Teku” alias perampok tradisional di daratan Timor masuklah gaya baru dan modus baru para bajing loncat atau pencopet dan maling jalanan maupun pengunjung gelap dari rumah ke rumah merebak di Kota Kasih tercinta seiring semakin ketatnya upaya pengamanan kota, peningkatan jumlah polisi dan anggaran untuk pengamanan. Tak kalah menghebohkan pula rekor pemberitaan terkait sejumlah manusia pintar, manusia lihai, manusia gagah yang ingin menjadi kaya dengan jalan pintas alias berita terkait para koruptor yang tak segan-segan mencuri dan memanfaatkan kepintarannya untuk mengambil hak orang lain, memanfaatkan posisi dan kedudukan yang diterimanya dengan syukuran itu untuk mengambil barang haram bagi dirinya yang halal dan bermartabat padahal ujung cerita akhirnya harus diseret ke meja hijau dan berakhir di rumah pardeo alias penjara atau kalau mau selamat harus menodai lembaga peradilan dan pengawalnya untuk terseret bersama dalam nista dan lumpur korupsi. Ini bak kanker yang terus menyebar dan mengakar masuk keseluruh ranah kehidupan bahkan sampai lembaga pendidikan sebagai pewarta dan pengawal nilai, lembaga politik, lembaga pemerintahan terkecil yakni RT (Kepala desa korupsi, kepala sekolah korupsi, kepala dinas korupsi, bupati korupsi, RT korupsi). Mari bersama kita menganalisa dan memetakan hubungan sebab akibat antara fenomena pencurian, korupsi, perkembangan kota dan sejumlah perubahan sosial kemasyarakatan lewat beberapa catatan yang diharapkan dapat menjadi perhatian kita bersama :

1.Seluruh inovasi dan kreatifitas pencurian dan perkembangan model kejahatan diatas dapat dikatakan merupakan dampak ikutan dari berkembangnya Kota Kupang dari ibarat seorang gadis desa yang lugu dan polos nan jujur di daratan timor menuju ke Gadis Kota dengan perawakan yang metropolis nan anggun mempesona sehingga kita perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi fenomena sosial bahkan sejumlah penyakit sosial akibat perubahan sosial yang tak dapat dipungkiri mungkin akan menggerogoti sendi kehidupan sosial kemasyarakatan yang lain. Secara teoritik perubahan sosial meliputi norma sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat serta susunan kekuasaan dan wewenang. Perubahan sosial tidak terlepas dari perubahan kebudayaan, pola pikir dan pola perilaku masyarakat sampai pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup atau secara sosial merupakan upaya mempertahankan hidup. Kecenderungan masyarakat untuk berubah biasa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : rasa tidak puas terhadap keadaan yang ada (adanya ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin), timbul kesadaran memperbaiki kekurangan yang ada pada dirinya, kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks serta keinginan menyesuaikan diri dengan situasi baru. Jika diperhatikan dari segi keinginan masyarakat maka teridentifikasi dengan jelas bahwa pola pikir dan perilaku masyarakat yakni pencurian dan perampokan tentu merupakan perubahan sosial yang tak diinginkan untuk terjadi dalam masyarakat. Keinginan manusia untuk setara dengan zaman dalam tampilan memaksanya untuk mempertontonkan perilaku beresiko dan memalukan tersebut. Menurut saya fenomena ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat umum pada semua level terkhusus yang berurusan dengan kependudukan agar dapat memfilter dan ketat dalam urusan kependudukan. Karena ledakan penduduk dan arus urbanisasi membuat banyak wajah baru datang dan mengais hidup di Kota Kupang tanpa identitas yang jelas, penginapan tak jelas pula atau jika wajahnya jelas perilakunya sudah tak jelas lagi karena di cemari oleh perilaku penyakit sosial yang berakhir negatif. Tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja yang terkait dengan pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill, sebagian besar SDM kita juga memberi persoalan tersendiri dalam kehidupan fenomena sosial perkotaan. Tentu tingkat pendidikan dan ketrampilan yang pas-pasan dari para pengais hidup diperkotaan memberi pengaruh pada kemampuannya menafkahi hidup dengan cara terhormat lalu memilih jalan cepat menuju kesejahteraan walau kelak tak sejahtera. Perlu pendataan serius dan pemberian identitas yang benar agar kita dengan mudah mengidentifikasi pelaku kejahatan, menciptakan solusi dan menemukenali pergumulan kota dengan perubahannya sebagai antisipasi dini dalam menjaga nilai, budaya malu dan kerja keras yang diwariskan nenek moyang kita. Kecemasan dan penuh rasa was-was masyarakat kota perlu di kembalikan kepada rasa aman. Karena kejadian perampokan dan pencurian ini berakibat ketidaknyamanan warga kota dalam beraktifitas bahkan dapat mengganggu roda kehidupan ekonomi kota kasih atau mungkin penting disarankan bahwa harus lebih berhati-hati kalau jalan dikota Kupang karena ada banyak jambret? Ini kurang baik bagi nama kota karena banyak pengembangan kota yang bisa terhambat akibat label bagi kota kita.

2.Kita mesti sepakat bahwa ini bukan hanya jadi tanggung jawab aparat keamanan tapi juga mesti jadi perhatian kita bersama karena hanya dengan bahu - membahu kita dapat mengurung pelaku dan membersihkan citra diri kita dari perlakuan tak wajar para penjambret tersebut. Mungkin kita perlu kembali menghidupkan pos kamling pada tingkat RT/RW agar secara antisipatif mengurangi terjadinya perlakuan ini. Yah untuk di perhatikan jangan sampai pos kamling baru ada pada saat momentum politik dan hilang termakan janji politik pula. Kita perlu mencermati dengan seksama apakah ini perkembangan positif kota atau justeru ini kemunduran sebagai akibat kurang merata bahkan tak tersedianya lapangan kerja bagi penduduk kota sehingga mereka harus mengais rejeki dari merampas paksa milik orang lain. Bisa juga ini dampak dari semakin tak beradabnya masyarakat akibat ketidak mampuannya beradaptasi dengan perubahan yang sangat pesat. Karena jika kita telusuri jauh kedalam kehidupan sosial kemasyarakatan diperkotaan dan perkembangan IPTEKS yang tak terbendung maka kita tentu menemukan akar masalah sebenarnya adalah aspek pengetahuan dan aspek ekonomi yang paling utama mendorong orang melakukan tindakan nekat ini dengan didorong pula oleh gaya hidup konsumtif, hedonisme dan mungkin “Bagaya-isme dan Gampang-isme” menuju pada sikap dan perilaku masyarakat yang menghalakan segala cara dalam memperoleh sesuatu.

3.Lalu bagaimana dengan “koruptor” dalam kaitan dengan pencuri dan jambret? Ada pepatah tua yang berkata “Guru kencing berdiri murid kencing berlari” maka kita akan menemukan benang merah yang menghubungkan antara perilaku para penjambret/pencuri dengan tokoh panutan/pemimpin mereka sebagai contoh yang digugu dan ditiru. Dalam sebuah diskusi tentang jambret, teman saya berpendapat bahwa “Yah apa hendak dikata temanku, para pemimpin kita menunjukan perilaku mencuri dan menjambret milik masyarakat dengan cara yang seolah-olah terhormat yakni Korupsi jadi para penjambret juga mengambil milik orang lain dengan cara menjambret sebagai bagian dari caranya meniru dalam mencuri, kan sama-sama mencuri. Harus diingat bahwa dalam budaya penokohan kita adalah masyarakat yang hidup dengan meniru dan mencontoh dari apa yang dilakukan tokoh panutan (anak mencontoh dari orang tua, murid mencontoh dari guru, masyarakat mencontoh dari pemimpinnya). Yang membedakan hanya tempat pengambilan, yang satu ambil dikantor yang satu ambil dijalanan dan rumah ke rumah, yang satu berdasi yang satu punya target orang berdasi, yang satu ambil dari orang supaya bisa makan sedangkan yang satu makan orang supaya bisa ambil bebas. Jadi setali tiga uang teman”. Para koruptor yang memanfaatkan dan menyalahgunakan kewenangannya dan mengambil keputusan yang menguntungkan bagi diri maupun kelompoknya menjadi pembelajaran tersendiri bagi para pencuri jalanan dalam beraksi. Undang-undang No. 31 tahun 1999 junto Undang-undang No. 20 tahun 2001 menyebutkan mengelompokkan korupsi menjadi 7 yaitu: Perbuatan yang merugikan keuangan Negara, Suap menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan dan Gratifikasi. Hampir semua wilayah korupsi ini telah disinggahi saudara-saudara kita yang sebelumnya disanjung tetapi kini kita seperti ingin menendangnya sebab, karena dia kita mesti memikul hutang dan hidup dalam kemerdekaan yang bagai fatamorgana. Hampir setiap hari kita disuguhi kopi pahit akan perubahan perilaku masyarakat kita pada semua lini yang keluar dari tanggung jawab dan lebih suka merambah wilayah bukan kepunyaannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Transparansi International dan Transparansi International Indonesia disepuluh kota ditemukan bahwa Aspek budaya yang selama ini mungkin luput dari perhatian dalam kajian korupsi coba diangkat dalam penelitiannya. Nilai budaya, dengan didukung adanya sistem pranata tradisi yang masih lengkap dan dipercaya oleh masyarakat yang memegangnya, dibawah pemimpin yang memiliki komitmen tinggi dalam menciptakan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, bisa menjadi aset yang sangat berharga dalam usaha pemberantasan korupsi. Namun aspek-aspek budaya dan tradisi kini, bisa juga dengan sangat mudah digunakan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan, demi penguasaan dari orang yang tidak bertanggungjawab. Elemen-elemen budaya sekarang dapat dipergunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan yang pada akhirnya akan berakhir pada perilaku korup para penguasa. Pemberantasan atas perilaku korup juga sering dilakukan dengan mengadopsi nilai-nilai kultural lokal dari sebuah sistem budaya, seperti diungkapkan oleh Olusegun Obasanjo (aktivis anti korupsi dari Nigeria). Obasanjo mengatakan: “Saya terkejut sekali bahwa sebagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan kita digunakan sebagai alasan untuk membenarkan perilaku yang sangat terkutuk. Korupsi telah menyalahgunakan dan menghancurkan salah satu aspek kebudayaan kita.” Korupsi adalah perilaku yang merusak sistem sosial. Berbagai keputusan penting demi kepentingan orang banyak diambil berdasarkan pertimbangan dan kepentingan pribadi, tanpa mempedulikan akibat sosialnya bagi kehidupan masyarakat banyak. Jika tidak dikendalikan, korupsi dapat mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan ekonomi pasar. Kebijakan politik dan sistem hukum disusun untuk melindungi elite politik yang korup, sekaligus menjadi alat untuk menghancurkan kekuatan sosial masyarakat yang ingin melawan. Korupsi selalu mengakibatkan situasi sosial-ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Praktik korup sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk menembus administrasi pemerintahan, dan saluran politik yang sangat tertutup. Korupsi juga merupakan alat efektif untuk meredakan ketegangan antara birokrat dan politis, karena keduanya terlibat bersama-sama dalam pencapaian pemenuhan kepentingan pribadi masing-masing.

Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi karena memiliki dampak langsung pada alokasi dana, produksi dan dana konsumsi. Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Birokrasi pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dari sini ditemukan bahwa benar semua lini telah dan sementara digerogoti virus korupsi dan bahkan lambat - laun menuju kearah kronis dan inilah perubahan yang tidak kita ingini tapi sementara kita hadapi.

Jika seperti ini kisahnya maka apa yang perlu kita lakukan sebagai upaya memproteksi nilai, pola dan tradisi kemasyarakatan yang luhur dan membanggakan sementara kita terus menerus menemukan praktek dan gaya hidup ”pencuri” sebagai bagian dari perubahan. Saya tertarik pada perlu dan penting ditata kembali serta ditanamkannya nilai dan pola hidup dalam tradisi bermartabat lewat semua jalur pendidikan profesional baik formal maupun non formal dan berangkat dari rumah tangga sebagai institusi kecil dalam masyarakat yang sejak dini memberikan pengetahuan, menanamkan nilai pentingnya kerja keras dan anti pada tindakan-tindakan yang korup serta tak bertanggung jawab. Menarik apa yang diusulkan oleh KPK pada tahun 2008 silam untuk memasukan pendidikan anti korupsi disekolah sejak SD sampai SMA tentu dengan metode dan bahan ajar yang diseleksi dan disusun dengan metode, target dan pertimbangan yang matang didukung keteladanan kepala sekolah, keteladanan guru - guru, keteladanan pegawai di sekolah yang juga anti korupsi. Target kita adalah terciptanya generasi yang memahami apa itu kerja keras, apa itu disiplin dan rajin, apa itu korupsi dan akibatnya bagi bangsa dan negara, yang berani mengatakan tidak terhadap kemalasan, tidak terhadap etos kerja yang rendah, tidak pada korupsi sehingga akan timbul kesadaran bersama untuk bangkit dan maju kearah yang baik dan bermartabat. Kita mesti sepakat bahwa korupsi bukanlah sebuah budaya melainkan sebuah perilaku yang dapat kita perangi agar tidak mengakar apalagi membudaya. Kata ”budaya” bisa jadi pada akhirnya melemahkan proses penyelesaian gurita problematika bangsa terkait penyelesaian sejumlah kasus korupsi, karena jangan sampai paradigma kita terbentuk bahwa korupsi adalah budaya karena itu tak dapat dirubah bahkan yang tak bijak pula bisa kita sejajarkan dengan budaya bangsa yang baik sebagai cipta karsa pendahulu pada aspek materil maupun imateril sampai pada tingakatan agama sekalipun dalam konteks organisasi dan kehidupan bermasyarakat. Gaya hidup yang sederhana tetapi penuh dengan kebahagiaan tanpa memberi cacat pada diri dan sesama menjadi penting kita impikan bahkan wujudnyatakan dalam kehidupan ber-Flobamora.

Tindakan para koruptor selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan. Kita harus terus berupaya membangun di segala bidang, menjawab harapan bersama memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya yang semakin meningkat, karena pada kenyataannya perbuatan para koruptor telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang, untuk itu upaya pencegahan dan pembarantasan korupsi perlu semakin di tingkatkan dan di intensifkan. Mari kita sepakat untuk meneriakan tidak pada sejumlah label nista sosial yang dilekatkan pada tubuh bangsa, pada tubuh Flobamora bahkan tubuh Kota Kasih Kupang. Belum terlambat bagi kita untuk menjadi contoh dan teladan bagi bangsa lain dalam tradisi ketimuran kita. Jambret, pencuri dan koruptor ternyata sama-sama memberi efek negatif baik bagi perkembangan ekonomi dan perubahan sosial kemasyarakatan maupun bagi aspek melunturnya nilai, tradisi dan pola hidup. Akhir kata mengutip apa yang selalu di dengungkan oleh Bapak Esthon Foenay (Wagub NTT) bahwa Nusa Tenggara Timur yang sudah dikatakan miskin secara materi dan sumber daya jangan mau lagi dimiskinkan dari sisi etika, tata krama, budaya, pola kehidupan yang bermartabat dan terpuji.

”Mari berubah ke arah yang benar bagi martabat dan kejayaan negeri yang berlimpah akan susu dan madu”
SalamKu bagi Flobamora dan Kota Kasih.

Rabu, 19 januari 2011
David-glory-charissaazalia
David Natun, S.Pd
1. Anggota KontraS Nusa Tenggara
2. Wakil Ketua Badan Pengurus Pemuda GMIT Sinode MB 2008-2012