Rabu, 25 Agustus 2010

SIAPA YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB?

(Refleksi akan Ironisnya kemerdekaan anak bangsa dan kedaulatan mutlak negara dalam model penjajahan baru oleh bangsa lain bahkan saudara serumah)

Oleh. David Natun, S.Pd.

Guru Geografi dan Sosiologi SMP Negeri 2 Kupang, juga Ketua Serikat Persudaraan Guru Kota Kupang (SPG 09)


Nusa Tenggara Timur sebagai daerah kepulauan dengan 1192 pulau baik besar dan kecil (bahkan sebagian besar belum diberi nama), secara administratif terdiri dari 20 kabupaten dan 1 Kota, 286 Kecamatan, 303 Kelurahan dan 2472 Desa dengan 4.474.954 juta jiwa penghuninya. NTT juga merupakan wilayah perbatasan laut dan darat secara otomatis karena posisinya secara geografis yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia. Luas lautnya 200.000 km2 sedangkan luas daratan relatif kecil yakni 48.718, 10 km2 tentunya memberi pengaruh pada pola pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Sebagai daerah sedang berkembang tentu sebagian dari masyarakat kita bermukim di gunung/pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan peternak sedangkan sebagian kecil penduduk bermukim di daerah pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan tentu berupaya dan memaksimalkan hasil laut yang sangat luas ini sebagai upaya mempertahankan hidupnya dengan mencari dan menjual hasil laut dalam berbagai bentuk. Dengan demikian laut tentunya perlu dijaga dan diperlihara demi keseimbangan hasil dan kesinambungannya bagi mereka yang menghidupi diri darinya dan lebih bagi anak cucu kelak. Namun sayang NTT tentu tak lepas dari sejumlah cerita yang membuat kita sangat terganggu mungkin juga terharu dan merasa seperti belum merdeka, jauh dari kebebasan, masih dijajah, diadili dan tak mendapat perlakuan yang wajar sebagai anak bangsa, warga Negara berdaulat dan sebagai umat manusia yang pada dasarnya berhak atas penghidupan dan kemakmuran hidup atas kerja keras dan upaya yang kita peroleh dalam berbagai bentuk kerja.


Sebagai warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Pusat Pemerintahan Propinsi saya mencermati sejumlah berita tentang NTT yang berkembang baik dimedia cetak maupun media elektronik dalam beberapa waktu terakhir terkait bagaimana perlakuan Negara lain atas masyarakat, alam dan lingkungan kita yang seharusnya mendapat perhatian serius dari kita semua terutama pihak yang berkompeten untuk menyuarakan dan mengambil keputusan sebagai langkah konkrit melindungi dan menjamin kehidupan warga. Beberapa persoalan tersebut ringkasnya dapat dilihat dalam catatan dibawah ini :

  1. Aksi kurang terpuji yang sering kali ditonjolkan oleh para petugas patroli negeri Kanguru Australia dalam mengawal daerah perbatasan perairan antara Indonesia dan Australia. Banyak fakta dimana para nelayan kita ditabrak dan dengan sengaja dibakar perahunya lalu ditahan di negeri seberang dengan berbagai alasan dan proses pengadilan pun berlangsung walau bisa dikatakan sepihak. Banyak korban harta benda, materi dan korban kekerasan fisik yang dialami oleh nelayan kita sebagai akibat dari kebrutalan para petugas pengawal daerah perbatasan laut. Sebagai contoh pada bulan oktober 2009 dua kapal nelayan kita ditabrak oleh kapal patroli pemerintah Australia dengan alasan yang kurang jelas. Berikut dalam pemberitaan sering kali Pemerintah Australia melarang nelayan tradisional kita mencari ikan di Laut Timor yang jelas milik kita. Australia mengklaim wilayahnya sampai Laut Pulau Pasir, 50 mil dari Pulau Rote Ndao. Banyak nelayan kita yang ditangkap dan diproses secara hukum di Australia bahkan kalau dengan cermat kita hitung telah mencapai ratusan orang. Persoalan ini tentu merugikan pihak masyarakat NTT. Adalagi kasus kematian Wahidin (Yang sesuai kronologisnya mereka bertemu dengan kapal patroli Australia saat sedang menyelam mencari teripang- dan diberitakan pada bulan Februari 2010). Salah satu nelayan asal Oesapa yang dinyatakan meninggal tersebut setelah memperoleh perawatan dokter di kapal patroli Australia di Laut Timor. Kematian yang dinilai janggal karena dokter tidak menyebutkan sebab kematian. Karena Wahidin sakit, ia dirawat di kapal tersebut, tetapi anehnya teman-teman Wahidin dilarang menyaksikan bagaimana Wahidin dirawat hingga kematiannya.
  2. Berikut Kamis 12 Juli 2010 beberapa patroli negeri Kanguru kembali melakukan tindakan tersebut dengan alasan yang sama seperti di lansir oleh Metro TV dengan lebih jelas dalam running teks yang ditayangkan berulang-ulang. Padahal dalam pengakuan tulus dari para nelayan kita yang tentunya merupakan orang kecil tanpa pengacara besar ini adalah mereka bukan pelaut baru yang tidak mengerti dengan proses melaut apalagi terkait dengan wilayah perbatasan mereka menggunakan GPS dan Peta sebagai petunjuk agar tidak melanggar zona perbatasan. Sejak nenek moyang mereka sudah sering melaut, tetapi baru beberapa waktu terakhir ini ada perlakuan seperti ini. Ini fenomena menarik karena walaupun pada Maret 2010 kemarin dalam kunjungan kerja Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mendampingi Presiden SBY ke Australia dalam rangka membicarakan kerja sama dan semua persoalan perbatasan antara Indonesia dan Australia telah disampaikan untuk tidak ada lagi perlakuan seperti tersebut diatas kepada nelayan kita tetapi masih belum final juga perulangan fenomena ini.
  3. Berikut kita di sajikan lagi dengan persoalan pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak dari ladang minyak Montara di Blok Atlas Barat sejak 21 Agustus 2009 dengan dampak yang sangat panjang dan penyelesaian yang sungguh berbelit-belit. Akibat meledaknya ladang minyak tersebut menumpahkan sekitar 500 ribu liter minyak mentah ke laut setiap hari dan telah mematikan ribuan ekor ikan di wilayah perairan tersebut. Gumpalan minyak mentah tersebut juga secara jelas ditemukan para nelayan Oesapa Kupang sepulang melaut. Tumpahan minyak ini telah mencemari sekitar 90.000 kilometer per segi wilayah perairan Laut Timor. Dari luas jangkauan pencemaran minyak tersebut, diperkirakan 75 persen di antaranya berada di wilayah perairan Indonesia menurut Ferdy Tanoni Ketua Yayasan Peduli Timor Barat. Namun sampai sekarang belum jelas pangkal penyelesaiannya. Ada apa dengan semua ini?


Dari tiga ringkasan singkat diatas maka saya ingin sampaikan beberapa catatan kritis sebagai upaya mencermati dan memberi tanggapan atas fenomena tersebut, sekaligus ini sebagai refleksi atas peringatan hari kemerdekaan bangsa kita versus kemerdekaan sejati anak bangsa : bahwa apakah kita sudah merdeka dan berdaulat sebagai negara dan bangsa serta menikmatinya dalam terang kebersamaan dan kemerdekaan tersebut dan apakah kita sudah merdeka dan benar-benar menggunakan kedaulatan kita dengan sejumlah kekayaan alam baik didarat maupun dilaut demi memerdekakan warga negara dari belitan dan himpitan ekonomis? Catatan tersebut antara lain :

  1. Apakah kita tidak sama sekali memiliki posisi tawar dalam upaya penyelesaian sejumlah hal terkait dengan tindakan sewenang-wenang negara lain terhadap kita sehingga kita hanya bisa pasrah pada belas kasihan sebagai upaya penyelesaian kasus tersebut (Masih segar dalam ingatan bagaimana klaim upaya pemilikan paksa negara lain atas pulau-pulau terluar yang belum di huni padahal jelas-jelas merupakan milik kita bahkan sampai berbuntut unjuk kekuatan militer menuju konflik dan kasus penembakan warga di daerah perbatasan). Berikut jika mungkin kita perhatikan kembali terkait dengan sejumlah regulasi dan catatan historis geografis yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah perbatasan sebagai upaya memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada masyarakat kita dalam aktifitasnya sekaligus menjadi ingatan pada pemeritah Negara tetangga lainnya dalam upaya pengelolaan perbatasan tanpa dominasi dan kesewenang-wenangan atas nama apapun. Karena dengan demikian kita membantu masyarakat kita untuk bermata pencaharian dalam ketenangan sebagai bagian dari kemerdekaan sejatinya sebagai warga negara merdeka sehingga kita tidak membuat anak bangsa ”Rest In Peace” melainkan ”Life In Peace”.
  2. Ironis memang negara kita sebagai negara maritim dan lebih khusus untuk NTT sebagai wilayah kepulauan yang tentu penting untuk kita memberi perhatian pada upaya pengelolaan dan pemanfaatan hasil laut sebagai upaya memakmurkan dan memajukan kesejahteraan masyarakat, tetapi realitasnya perhatian pada urusan kelautan dan sejumlah hal terkait perbatasan laut ternyata lemah. Sebagai bukti konkrit Angkatan laut dan Polisi perairan kita yang jumlahnya sangat terbatas sehingga ada sinyalemen perlakuan terhadap negara kita dan terutama wilayah NTT dan warganya tidak sama sekali memperhitungkan kemampuan kita memproteksi diri dari serangan dan tindakan sewenang-mewang tersebut. Belum lagi perhatian dan alokasi anggaran dari pemerintah pusat untuk pengelolaan wilayah perbatasan yang sangat minim membuat kita tak berdaya dalam mendampingi warga kita menyelesaikan persoalan – persoalan kemasyarakatan diwilayah perbatasan seperti diatas. Mungkin ini yang disebut-sebut dengan tidak adanya pemerataan pembangunan diseluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia sembari pada saat yang sama sebagai warga perbatasan kita dituntut untuk menjaga keutuhan negara dari rongrongan dan gangguan negara lain. Kita tentu tak bisa menghayal dan mengulangi kejayaan ”Bambu Runcing” dalam melawan penjajah ratusan tahun lalu untuk digunakan dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI yang sama kita cintai ini pada saat ini. Sebagai bukti hingga hari ini pemerintah negara penyebab persoalan masih selalu berkelit terkait penyelesaian persoalan pengrusakan dan penangkapan nelayan kita serta pencemaran laut Timor yang sangat jelas memberi akibat buruk bagi hasil laut kita dan seiring dengan nada tegas pemerintah kita yang suka berargumentasi masih membentuk team pencari fakta, team alokasi anggaran, team pencari alasan dan The Dream Team lain yang hasilnya tak kunjung datang, sementara kebutuhan hidup terus menuntut. Alasan tunggal yang sering kita amini hanya karena nelayan kita melanggar batas – batas perairan yang telah ditetapkan sehingga patut mendapat perlakuan tersebut. Benarkah demikian? Ini sepertinya bentuk kemerdekaan penguasa menterjemahkan arti kemerdekaan versinya dengan tenang dan bersahaja tak berbeban tanpa memberi arti kemerdekaan yang sama pada pemberi kekuasaan yang sejatinya patut menikmati kemerdekaan tersebut.
  3. Para nelayan tradisional kita tentu perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah kita terutama instansi terkait misalnya perikanan dan kelautan sebagai upaya mendidik dan mensosialisasikan sejumlah regulasi terkait dengan upaya mereka mencari hasil laut tanpa harus melanggar wilayah negara lain. Ini penting karena bagaimanapun kita tentu memiliki hak penuh dalam upaya mencari hasil pada wilayah yang adalah milik kita. Kita mesti bersepakat untuk menyelesaikan seluruh persoalan ini sebagai bagian dari komitmen pada upaya mensejahterakan masyarakat dan tidak berlarut – larutnya hal ini sehingga menghambat seluruh usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhannnya dan lebih dari itu sebagai bagian meningkatkan taraf hidupnya seiring Undang-undang dasar negara kita yakni secara arif dan bijaksana memberikan perlindungan, perhatian dan menjamin kesejahteraan warga negara.
  4. Melihat realitas ini ternyata menjadi penting dan mendesak perjuangan panjang kita menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan (Seperti Kepulauan Riau, dll), kerena dengan itu kita akan diberi porsi alokasi anggaran, kue pembangunan dan perhatian logis secara geografis dan astronomis sebagai wilayah perbatasan yang kerap distigmakan secara politis terbelakang, termiskin dan ter-kurang lainnya. Kita mesti terdorong sangat untuk menjadikan penyelesaian fenomena diatas sebagai langkah awal dengan membangkitkan semangat gerakan pemanfaatan potensi laut sebagai upaya memaksimalkan hasil laut dari pesisir sampai laut dalam sesuai batas-batas yang ditetapkan. Apa kekuatan kita? Pertama tentu luas laut kita yang hampir 4 kali luas daratan tentu menjanjikan bagi upaya perbaikan ekonomi masyarakat, karena laut seluas ini tentu menyimpan hasil yang variatif dan secara bombastis bisa dikatakan mampu memberi topangan bagi setengah dari total jumlah penduduk kita (Ada ikan Alor yang nikmat, ikan bakar khas Kota Kupang dari perairan Ombai, Sulamu, Ikan Labuan Bajo, Ikan Rote, Ikan Sabu, ikan Sumba, lobster, teripang Rote Ndao, dll). Kedua kita memiliki 4 Fakultas Perikanan di ibu kota dengan akademisinya, analisanya, out put lainnya, kita juga punya hampir selusin sekolah perikanan dan ilmu kelautan yang tersebar di ibu kota dan kabupaten-kabupaten tentu menjadi landasan yang kuat bagi pergerakan menuju eksplorasi hasil laut yang ramah dan menguntungkan. Jangan lupa bahwa banyak nelayan asing dan para penyerobot lainnya terus berkeliaran mengambil kekayaan kita sementara kita masih berkutat dengan kemiskinan, kemelaratan dan problem sosial lainnya sebagai menu vaforit yang di idamkan sebagian pengambil keputusan untuk study banding atau banding study terus menerus. Ingat jangan sampai kita mesti malu karena kita punya semua potensi perikanan diatas tetapi tak satupun kaleng ikan ber-merk NTT yang muncul dipermukaan karena kita masih suka mengkonsumsi ikan dari kaleng berhuruf aneh dari negeri tetangga. Bayangkan berapa tenaga kerja yang bakal terserap jika ada perusahaan ikan di NTT dan tentu selaras dengan kecerdasan anak kita karena mengkonsumsi ikan segar dengan gizi yang tinggi. Ketiga dengan luas laut semacam ini tentu sangat menjanjikan pula potensi pariwisatanya (Sesuai hasil seminar bersama Akademisi UKSW Salatiga dan Pemda Propinsi disayap kanan Aula Eltari dan amatan langsung saya mengelilingi Nusa Tenggara Timur tercinta). Dipastikan dalam seminar tersebut bahwa jika kita menggunakan potensi laut untuk memajukan sektor pariwisata maka kita akan memanen perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Banyak tenaga kerja yang akan terserap dalam segala sektor pendukung pariwisata. Kita hanya mempersiapkan infrastruktur pendukung dan terutama mempersiapkan karakter masyarakat kita sebagai daya dukung sosial dalam menunjang potensi pariwisata kita. Sebut saja ada pantai Pantai Nembrala dengan potensi berselancar dunia menyaingi Kuta Bali, taman laut di Alor yang menyaingi Bunaken sebagai wisata bawah laut terindah, gugusan pulau menawan Labuan Bajo dilengkapi Komodo sebagai kekayaan dunia, Pantai Kolbano dengan pasir putih, gelombang bergulung tinggi dan batu warna yang tak ada di tempat lain. Ini kekuatan kita yang riil bagi upaya merubah stigma NTT menjadi Positif dan berdaya saing dalam bingkai komitmen memberi nuansa kemerdekaan sejati bagi anak bangsa. Ini kekuatan kita dan banyak teori perkembangan serta realitas mengajarkan kita untuk melihat potensi sebagi kekuatan untuk maju bukan mengeluh dengan kekurangan lalu tetap berjalan ditempat bahkan mundur. Jika demikian mari kita bangun optimisme kita dengan sumber daya yang ada.
  5. Refleksi ini dibuat bukan atas dasar kecintaan pada tanah air Indonesia dan NTT khususnya dan dialas pada prinsip dasar kemanusiaan terutama hubungan antar sesama dimuka bumi yang setara dan seimbang. Kita menaruh harapan besar pada upaya penyelesaian yang serius dan berkembang dan tentu berharap adanya itikad baik pemerintah negara tetangga agar tidak ada yang dirugikan dalam semua upaya penyelesaian persoalan tersebut. Dalam nuansa perayaan kemerdekaan bangsa kita, ini menjadi tamparan bahwa ternyata masih ada saja yang ingin merampas kebebasan kita dalam memenuhi kebutuhan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dan diakui oleh seluruh negara dimuka bumi. Kiranya kita akan segera mendapatkan perlakuan yang wajar sebagai contoh ganti rugi terhadap nelayan kita dan lebih lagi ganti rugi kepada nelayan akibat tumpahan minyak yang memberi pengaruh pada hasil tangkapan. Mari kita sepakat menginspirasi diri dan memulai relasi sebagai sesama anak bangsa Indonesia dan negara tetangga dengan mimpi bahwa ” Tetanggaku kau Idamanku, tetanggaku kau belahan hatiku, bersama mari raih mimpi menjadikan bumi layak dihuni dalam semangat kemerdekaan sejati”. Tuhan Memberkati NTT dan Bumi dimana kita huni sekarang. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Ekspress, tanggal 19 Agustus 2010).

SIAPA YANG MENANAM, MEMELIHARA DAN MEMBERSIHKAN DAN SIAPA YANG MEMBAKAR?

(Catatan Reflektif, Edukatif dan Solutif sebagai Dukungan bagi Suksesnya Program Kupang Green and Clean-KGC)

Oleh: David Natun, S.Pd

(Guru Mata pelajaran Geografi dan Sosiologi SMP Negeri 2 Kupang)

Syukur yang tak terhingga bagi Tuhan atas perkenanan-Nya maka kita masih diberi nafas kehidupan dan menghirup udara segar, sejuk dan membantu kita dalam proses pertukaran udara dalam tubuh lalu kita masih berkarya, berkarsa dan mencipta bagi diri dan bagi sesama khusus bagi saudara dan sahabat dalam Kota Kasih Kota Kupang tercinta.

Syukur berikut kita patut panjatkan pula karena Tuhan menetapkan dan mengutus Duo Dan untuk memimpin Kota Kupang lima tahun dan kemudian kita dipertemukan dengan sebuah ide yang cemerlang dalam rangka menciptakan Kota Kupang sebagai Kota yang Hijau dan bersih dan menciptakan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan lewat kerjasama Pemerintah Kota Kupang dengan harian pagi Timor Express dalam meluncurkan program Kupang Green and Clean ( KGC 2008 ) yang pada hari jumat 26-09-2008 lalu bertempat di Aula Sasando lantai III kantor Walikota Kupang.

Betapa indahnya ide pada awal kepemimpinan Duet Paket Dandan yang pada saat kampanye bersepakat ”Mendandani” Kota Kupang dan tentunya ini sebagai bukti kepedulian dan komitmen pada penghijauan lingkungan, kepedulian dan tekad yang besar dalam menciptakan lingkungan yang hijau dan bersih juga merupakan bagian dari tanggungjawab universal guna memperbaiki kualitas lingkungan serta menanggulangi pemanasan global melibatkan seluruh lapisan masyarakat Kota Kupang yang berada di 49 kelurahan dan bertujuan untuk menyadarkan dan membangun serta meningkatkan kepedulian warga Kota Kupang dalam menjaga lingkungan untuk peningkatan derajat kesehatan sesuai sambutan Bapak Walikota pada saat peluncuran tersebut.

Sebagai warga kota yang bertanggung jawab dan siap mensuksesakan program Kupang grean and clean tersebut saya selalu menyempatkan diri dalam setiap upaya dan aktifitas baik ide maupun tindakan nyata terkait dengan program ini. Karena itu saya mengamati dan memberi apresiasi berupa catatan pada program ini sebagai berikut :
  1. Mari kita beri apresiasi atas cantiknya wajah kota lewat berbagai perubahan pada sudut-sudutnya. Dengan terpelihara dan tertatanya taman kota dengan sendirinya meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan, sehingga akan terlihat memiliki nilai estetika. Jika kedepan lingkungan kota kita sehat dengan taman kotanya tertata indah akan menambah daya tarik bagi wisatawan dan memberi kesan tersendiri kepada pengunjung dari daerah lain. Banyak tangan yang terlibat dalam menanam dan memelihara sejumlah pohon dan taman bunga yang tentunya memberikan kontribusi pada cantiknya wajah kota. Sepanjang jalur eltari dari depan toko hero sampai areal jalur belakang kampus undana kelurahan penfui, kelurahan lasiana terlihat sejumlah pohon ditanam, dipelihara dan bakal menjadi paru-paru Kota Kupang.
  2. Kita juga tak lelah ketika harus antri di perempatan lampu merah walau matahari menyengat karena kini pandangan kita dibatasi oleh air mancur, taman bunga dan kebersihan lingkungan sekitar sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan pemerintah Kota Kupang khususnya dinas tata kota dan pertamanan yang tentu kian hari akan semakin menunjukan peran aktifnya dengan merubah wajah kota dan membuat lupa akan kota yang panas dan beralih ke kota yang sejuk dan penuh kenangan. Kelak semua tangan pada zaman ini akan dikenang karena jasanya merubah hawa kota dari panas menjadi hijau, sejuk dan nyaman. Lebih lagi tentu ada sejumlah tindakan sampai tingkat RT dengan komitmen one man one tree dengan kontribusi yang sinambung pada kesehatan lingkungan dan pencapaian visi lingkungan hujau dan udara sehat.
  3. Jika kita berkesempatan berolahraga pagi pada beberapa jalur utama kota maka kita akan disuguhi pemandangan kagum atas keseriusan para pasukan kuning yang komit untuk selalu mempersiapkan pemandangan dan aroma kesejukan dengan menyapu jalanan, mengangkut sampah pada tempat pembuangan sementara bahkan kita akan melihat kendaraan roda empat bahkan roda tiga berkeliling membersihkan sisi kota dari jalan utama sampai gang buntu sekalipun. Ini bukan kerja yang tak patut mendapat apresiasi! Kita tentu bangga karena walau tanpa masker kita masih dapat berkendara roda dua menyusuri kota kasih tercinta.
  4. Mari kita lihat catatan pada halaman media surat kabar yang terisi dengan berita kerjasama dan bahu membahu masyarakat dengan pemerintah sampai pada tingkat kelurahan dengan menentukan hari dan aktifitas pembersihan lingkungan dan penanaman tanaman sebagai bentuk kampanye dan penyadaran pada masyarakat akan pentingnya kesehatan dan penghijauan lingkungan, bahkan melibatkan sejumlah mahasiswa dalam program Kuliah Kerja Nyata di kelurahan di Kota Kupang.

Beberapa catatan diatas adalah bentuk apresiasi dan syukur atas ide cemerlang menuju suksesnya program Kupang hijau dan bersih. Namun sayangnya ada saja yang seperti tak kenal lelah pula dengan mempertontonkan tindakan tak terpuji dan kontra produktif bahkan seperti upaya sistematis tak berpengetahuan menjadikan diri penghalang bagi kesejukan dan masa depan lingkungan bagi anak cucu kita. Beberapa catatan ini diharapkan akan menjadi refleksi karena butuh upaya sistematis dan produktif pula dalam menyikapinya.
  1. Kebiasaan membakar sampah dan rumput kering pada sudut-sudut kota masih menjadi santapan harian kita apalagi memasuki musim kemarau. Mulai dari lingkungan rumah tangga sampai pada jalur umum kota yang dapat saja berakibat fatal seiring angin kencang dan cuaca panas kota. Pada beberapa titik di jalur eltari tepat di bagian gudang sinar bangunan bahkan tanaman yang sudah mulai tumbuh subur ikut terbakar dan butuh waktu yang lama untuk merehabilitasinya. Ada punggung bukit sasando, beberapa titik pada ruas jalan eltari, ujung jembatan Liliba, beberapa titik jalur penfui dan lasiana, bahkan gedung Dekranasda Kota Kupang hampir menjadi sasaran si jago merah. Dari manakah sumber api tersebut dan apa maksudnya membersihkan dengan api? Masih menjadi misteri. Menarik memang spanduk yang dipasang Jiwasraya di depan kantornya yang berbunyi mari menanam dan menyiram, Tuhan menumbuhkan. Banyak ajakan lain untuk menanam, memelihara dan merawat terlihat di setiap jalur jalan kota mulai dari tingkat propinsi, instansi pemerintah, swasta, BUMN, tapi rupanya si penggemar kebakaran ingin merubah isi ajakan dengan bunyi mari menanam, menyiram dan merawat, Tuhan yang akan menumbuhkan dan saya akan membakarnya. Sadis dan tradisionil memang perilaku si penggemar jago merah ini.
  2. Suatu saat saya beriringan dengan sebuah mobil mewah dengan kilauan tanda bersih dan sangat terawatnya mobil tersebut lalu terlintas dibenak saya kalau si pemilik kendaraan tentunya adalah kaum yang sangat peduli akan kebersihan sebagaimana tercermin pada kilatan body mobilnya. Tapi betapa kaget saya ketika salah satu kaca mobil tersebut diturunkan kurang lebih 15 cm dan tanpa beban dikeluarkan sejumlah bekas kaleng minuman, tisu, bungkusan plastik lainnya. Rupanya ia menganggap kota ini sebagai tempat sampahnya yang luas dan ia yakin esok akan ada pemulung yang memungut kalengnya dan sampah lainnya akan dibersihkan petugas kebersihan subuh nanti. Perilaku ini tentunya terekam di sekitar kita dengan pola dan cara yang sedikit berbeda tetapi dengan satu akibat yakni ada sampah di sembarang tempat, ada selokan yang harus tersumbat nanti, ada tanah yang akan menurun produktifitasnya karena sampah plastik yang bertebaran kemana saja. Ironis memang ditengah publikasi dan kampanye menjadikan Kota Kupang indah, bersih dan elok masih ada perilaku mereka yang tak mau tahu dengan orang lain. Mungkin mereka penganut paham ”EGP-isme (Emangnya Gue Pikirin?)”.

Dua fakta kecil ditas diatas membuat saya mengerutkan dahi, mengumpulkan referensi sembari menemukan sejumlah catatan yang kiranya patut kita lakukan sebagai upaya mensukseskan program KGC antara lain :

Pertama, Temukan dan gunakan cara-cara berkualitas dan kreatif menangani dan mengelola sampah (Contoh : daur ulang oleh kelompok kreatif binaan Dekranasda Kota Kupang) bahkan diupayakan menjadi kebiasaan/karakter sebagai bagian dari menghindari cara membakar sebagai satu-satunya pilihan. Mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis atau mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup. Metode daur ulang merupakan upaya pencegahan karena kita menggunaan kembali barang bekas pakai , memperbaiki barang yang rusak , mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali. Dalam pengelolaan sampah rumah tangga dengan benar dapat memberikan kontribusi terhadap penyelamatan lingkungan. Dapat dibayangkan kalau seluruh Rumah tangga dipermukaan bumi mampu mengelolah sampah dengan benar maka sumbangan polutan seperti CO (karbononoksida), SOx (Sulfur Oksida) yang berasal dari aktifitas domestik dapat dikurangi. Gas CO, SOx merupakan kelompok Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyelubungi atmosfer sehingga radiasi bumi tertahan dipermukaan bumi yang menyebabkan suhu bumi meningkat.

Kedua, Berikut pengkomposan adalah pilihan pengelolaan sampah kreatif dan bernilai yang sangat evektif. Material sampah organik , seperti zat tanaman , sisa makanan atau kertas , bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto Kanada, dimana sampah organik rumah tangga , seperti sampah dapur dan potongan tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk di komposkan.

Ketiga, Sampah menjadi energi (Waste to energy). Ini tentu sebuah hal yang masih sangat langka dimengerti terjadi di Kota Kasih tercinta. Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara menjadikannya bahan bakar atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator.

Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan , dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat , gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif.

Gasifikasi dan gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan listrik dan uap. Nah jika Dewan Perwakilan Rakyat Kota Kupang dan sejumlah dinas terkait melakukan study banding terkait dengan mekanisme pengelolaan sampah menjadi energi dan digunakan bagi kebutuhan warga Kota Kupang tentu sangat terpuji ketimbang sejumlah BIMTEK yang kemudian tak berujung manfaatnya. Ini sekaligus merupakan alternatif pemenuhan energi bagi masyarakat ditengah mahalnya BBM, sering matinya listrik di ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Keempat, Mari kita lihat referensi pengelolaan sampah di Bali : Program ini dilaksanakan oleh kelompok wanita PKK di Kutuh Kelod di Ubud, dengan dukungan melalui Yayasan IDEP berkat pendanaan dari Norwegian Student group. Bagaimana Program Sampah Berbasis Masyarakat ini bekerja. Sampai sekarang 160 wanita yang diorganisasi oleh ketua kelompok PKK mereka telah memisahkan sampah plastik dan kertas dirumah masing-masing. Secara rutin wanita-wanita ini membawa sampah daur ulang mereka ke sebuah tempat sampah yang dibangun dengan sumbangan dana dari kepala desa setempat. Ketua proyek, ketua kelompok PKK di desa, telah membuat perjanjian dengan pemulung untuk membeli sampah daur ulang dari kelompok ini. Pemulung ini kemudian membawanya ke depot pengumpulan sampah di Denpasar, yang kemudian dibersihkan dan diproses.

Dari sana sampah-sampah itu kemudian dijual lagi kepada pembeli yang mendaur ulang sampah-sampah tersebut di pabrik-pabrik di Jawa dan / atau menjualnya kepada pembeli dari luar negeri untuk dieksport. Suatu daerah dikatakan maju apabila tampak dalam kesadaran kolektif warganya untuk melakukan tindakan terpuji tanpa diawasi tetapi akibat pergeseran paradigmanya dari tradisional menuju ke modern. Mari kita sepakat memulainya sejak sekarang. Dapatkah kita laksanakan hal ini di kota kasih tercinta?

Kelima, Pada daerah yang berpotensi mengalami kebakaran untuk diperhatikan secara khusus dengan cara rutin membersihkannya agar tak ada peluang terjangkitnya api. Karena hutan dan Taman kota mempunyai fungsi yang banyak (multi fungsi ) baik berkaitan dengan fungsi hidrorologis, ekologi, kesehatan, estetika dan rekreasi. Prof.Dr.Ir.H. Sunturo Wongso Atmojo. MS, Dekan Fakultas Pertanian UNS. Solo dalam tulisannnya berjudul Menciptakan Taman Kota Berseri menerangkan bahwa untuk setiap hektar ruang terbuka hijau, mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Sehingga kekeringan sumur penduduk di musim kemarau dapat diatasi.

Sebagai contoh sekarang sedang digalakan pembuatan biopori di samping untuk dapat meningkatkan air hujan yang dapat tersimpan dalam tanah, juga akan memperbaiki kesuburan tanah. Taman yang penuh dengan pohon sebagai jantungnya paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Peran pepohonan yang tidak dapat digantikan pula adalah berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari.

Terkait dengan fungsi ekologis taman kota dapat berfungsi sebagai filter berbagai gas pencemar dan debu, pengikat karbon, pengatur iklim mikro. Pepohonan yang rimbun, dan rindang, yang terus-menerus menyerap dan mengolah gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), ozon (O3), nitrogendioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan timbal (Pb) yang merupakan 80 persen pencemar udara kota, menjadi oksigen segar yang siap dihirup warga setiap saat. Kita sadari pentingnya tanaman dan hutan sebagai paru-paru kota yang diharapkan dapat membantu menyaring dan menyerap polutan di udara, sehingga program penghijauan harus mulai digalakkan kembali.

Tanaman mampu menyerap CO2 hasil pernapasan, yang nantinya dari hasil metabolisme oleh tanaman akan mengelurakan O2 yang kita gunakan untuk bernafas. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Dengan tereduksinya polutan di udara maka masyarakat kota akan terhindar dari resiko yang berupa kemandulan, infeksi saluran pernapasan atas, stres, mual, muntah, pusing, kematian janin, keterbelakangan mental anak- anak, dan kanker kulit. Kota sehat, warga pun sehat.

Keenam, Perlu monitoring dan kampanye penyadaran lingkungan pada segala lini kehidupan masyarakat dan bila perlu sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan pada lingkungan sebagai bagian dari upaya meminimalisir terjadinya pengrusakan lingkungan, juga bagian dari upaya mengarus utamakan kepedulian dan kecintaan masyarakat pada kotanya lewat berbagai aktifitas yang pro pada lingkungan hidup. Jalur sekolah perlu di manfaatkan dengan tegas dan terencana. Mulai dari kepala sekolah, guru dan siswa serta unsur penunjang satuan pendidikan lainnya untuk komit pada model pendidikan berciri cinta lingkungan agar sejak dini terbentuk karakter yang cinta lingkungan dan selalu dirangsang untuk berkreasi bagi terciptanya lingkungan sehat dan berkualitas. Demikian pula jalur organisasi keagamaan dengan bangunan komitmen pengarus utamaan gerakan cinta lingkungan dalam segala aktifitas peribadatan. Jika dalam satu hari ada 10 jiwa yang disadarkan dan berlangsung terus menerus maka setiap bulan kita akan punya 30 jiwa dan setahun kita punya 360 jiwa yang dapat menjadi agen perubah paradigma menuju baiknya lingkungan kita bagi anak cucu.

Ketujuh, Perhatian serius terhadap kesuksesan program KGC adalah dengan alokasi anggaran yang memadai dan menyentuh langsung pada peningkatan kapasitas dan sejumlah kebutuhan riil yang menunjang pencapaian tujuan. Misalnya dengan pengadaan alat dan sejumlah kendaraan operasional, alat pengelolaan sampah, peningkatan kapasitas aparat dan pegiat lingkungan sampai pada wilayah pemerintahan terkecil, anggaran untuk pengelolaan persampahan, pemeliharaan ruang terbuka hijau dan program peningkatan sarana dan prasarana taman kota yang adalah program riil perlu diperhatikan ketimbang sejumlah anggaran yang bernuansa belanja tak langsung yang sifatnya tidak urgen dan tak penting.

Ini memang sebuah upaya sistematis dan kampanye serta ajakan bagi seluruh masyarakat untuk menanam, menjaga dan memelihara pohon dan juga menjaga kebersihan lingkungan sekitar sebagai upaya jangka panjang yang hasilnya akan dirasakan di masa depan oleh generasi berikutnya. Butuh keterlibatan, partisipasi aktif, konkrit, kreatif, dan bertanggung jawab semua warga dalam upaya mewujudkan visi tersebut diatas. Mari buat Kota Kupang lebe bae karena bae sonde bae Kota Kupang lebe bae, seiring dengan semboyan kota ”Lil Au Nol Dael Banan” Berarti Bangunlah Aku Dengan Tulus Hati.
Tuhan pemilik alam semesta menyertai dan memberkati kita semua yang peduli dan menjaga keutuhan ciptaan-Nya. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Ekspress, tanggal 29 Juli 2010).

Rabu, 02 Juni 2010

AKHIRNYA MEREKA KEMBALI DAN UANG ITU PUN PERGI

(Gugatan terhadap Studi Banding 39 Anggota DPRD TTS dan SKPD TTS ke Tanah Rantau)

Oleh: David Natun, S.Pd
Ketua Forum Komunikasi Pemuda Gereja-Gereja Kristen NTT


Dengan wajah penuh riang dan segar tanpa rasa bersalah sedikit pun akhirnya para wakil rakyat dan abdi negara asal Timor Tengah Selatan berjumlah ratusan orang itu kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, tanah Timor tercinta dan tersiksa. Pesawat dengan pramugarinya yang cantik nan elok dan kursi yang empuk dibantu sabuk pengaman dan air conditioner menyapa mereka yang penuh canda tawa dan pelayanan prima bak di sorga.

Mengantarkan mereka dari rantau nun jauh di sana, di tanah Jawa. Rupanya para pahlawan pendidikan, kesehatan, pertambangan, pertanian dan peternakan ini dengan sangat gigih telah pergi dan belajar keras dan menghabiskan uang dengan keras pula sesuai dengan mata anggaran yang ditetapkan dan kembali dengan penuh ilmu dan kreatifitas membara untuk sesegera mungkin menerapkannya di tempat dimana mereka dilahirkan, dibesarkan bahkan dibiayai.

Piawai memang sang sutradara menuliskan naskah ceritanya dan sangat luar biasa pula para aktor ini memerankan setiap adegan sampai pada akhir cerita yang happy ending karena ternyata semuanya berjalan dengan lancar, sesuai harapan, sesuai target dan sesuai keinginan, bahkan yang lebih menarik ada di antara mereka pos yang dikisahkan menggunakan dengan baik uang rakyat tersebut dalam membina dan mempertebal romantisme di negeri rantau dan sukses memang, walau tak tau anggaran untuk pacaran dari mana datangnya.

Lagi-lagi hebat memang penulis naskah mengobrak-abrik perasaan pembaca yang hanya bisa melongo dan menyaksikan hingga akhir episode bahkan angguk-angguk dan setelah itu harus keluar untuk mencari ubi hutan atau putak dan biji asam untuk makan. Karena memang dalam skenario mereka ditakdirkan untuk menyekolahkan anak-anaknya untuk kelak bangga atas kemampuan anak-anaknya untuk menipu dari atas mobil mewahnya yang baru harus dibeli sebagai ganti gengsi dan superioritasnya sebagai orang penting dan terhormat di atas penderitaan para pembayar pajak yang menggajinya itu.

Pilu memang nasibmu hai konstituen, hai rakyat biasa atau mungkin memang sudah suratan takdir untukmu, atau memang akronim kampungku TTS telah berubah kepanjangannya menjadi “Timor Tengah Sengsara”?.

Memang menarik bila ditonton dengan seksama sejumlah fakta yang diekspos secara gamblang lewat media cetak maupun elektronik dan sementara tak terbaca dan terdengar oleh mereka yang seharusnya peka bahkan harusnya sangat peka terhadap rangsangan berita kesengsaraan yang datangnya dari mereka yang memilihnya menjadi wakil dan duduk untuk menjadi pejuang kesejahteraannya malah balik berubah menjadi dia yang sejahtera sebelum konstituennya sejahtera. Sejumlah cerita menarik sebelum dan sementara terjadi sejak keberangkatan sampai sekarang para pahlawan TTS yang sempat terekam antara lain:

Pertama, Ironis memang di surat kabar dan radio mengiang kabar terkait 35 kepala keluarga di dusun satu Panite, Desa Bena, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, terpaksa harus mengkonsumsi putak sebagai penganti makanan pokok jagung dan beras. Seperti dituturkan salah seorang warga RT 06/ RW 03 dusun satu Panite Desa Bena lewat sebuah siaran radio. Sem Tateni yang ditemui mengatakan kepala keluarga yang berada di dusun satu mengkonsumsi putak sebagai pengganti makanan pokok berupa jagung dan nasi bahkan menurut Sem mereka terpaksa mengkonsumsi putak sebab gagal panen yang melanda wilayah TTS akibat curah hujan yang tidak stabil mengakibatkan rawan pangan bahkan gagal panen sehingga warga terpaksa mengkonsumsi putak.

Sementara lewat votting akhirnya teman-teman kita memilih memenuhi panggilan alokasi APBD untuk study banding tanpa mau peduli untuk minimal berbagi kasih dengan kelembutan hatinya untuk melihat skala prioritas dalam penanganan pembangunan daerahnya. Jika 10 persen saja uang studi banding itu dipakai untuk membantu mereka yang kesulitan ini, maka sesungguhnya suatu tindakan mulia telah dilakukan oleh mereka yang sering disapa “Wakil Rakyat Yang Terhormat” dan abdi Negara yang telah di-SK-kan untuk mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan atas nama kepentingan apa pun.

Memang ini soal kecerdasan sosial kemasyarakatan benar-benar diuji kadarnya. Jika dicermati rupanya studi banding terkait upaya peningkatan usaha tani, pengolahan lahan, peningkatan produktifitas pertanian, ekstensifikasi dan intensifikasi bahkan kaitan erat dengan peternakan yang menjanjikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat menjadi pijakan yang kuat bagi mereka yang berstudi tentang pertanian dan peternakan. Memang ke depan kita tak akan susah lagi karena kita sudah punya dewan dengan perspektif kemanusiaan tentang ternak dan tumbuhan untuk mensejahterakan makhluk hidup lainnya yang adalah konstituennya, yang “Kepada Merekalah Harusnya Aku Mengabdi” kata seorang calon legislatif 2009-2014 pada waktu berkampanye dengan lantang meraih suara rakyat atau suara tuannya. Walau akhirnya pemilik suara harus kembali mengemis minta diperhatikan. Luar biasa memang naskah sinetron ini.

Kedua, Di sudut yang lain salah satu harian surat kabar mengabarkan APBD TTS dilaporkan Devisit Rp 18 M. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) TTS tahun 2010 untuk pendapatan daerah sebesar Rp 504.885.255.579, belanja daerah sebesar Rp 523.733.024.301. Defisit sebesar Rp 18.847.768.722.

Demikian dikemukakan Kabag Persidangan dan Risalah DPRD TTS, Oni Tunliu didampingi Kabag Perjalanan Dinas dan Protokol, Rahel E Mesakh di SoE. Dikatakan, rapat paripurna DPRD TTS untuk penetapan APBD TTS tahun 2010 sudah selesai dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 1 tahun 2010 tentang APBD tahun anggaran 2010. Dalam APBD tersebut, pembiayaan daerah untuk penerimaan sebesar Rp 19.847.768.722 dan pengeluaran sebesar Rp 1 miliar. Pembiayaan netto sebesar Rp 18.847.768.722.

Dijelaskan, pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 terdiri dari PAD sebesar Rp 21.644.915.200, dana perimbangan sebesar Rp 477.083.069.249 dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 6.157.271.130. Mungkin perjalanan ini sebagai bentuk merespon berita ini, berarti kita tinggal menunggu surplus pada waktu mendatang, namun sayang tak ada pahlawan studi banding di bidang ekonomi untuk mengamati dan menata model peningkatan sumber daya dan sejumlah aspek yang bakal mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang pada saatnya akan berkontribusi bagi peningkatan pendapatan dan dialokasikan untuk sejumlah keperluan daerah. Mungkin kita harus menanti dengan sabar sesuai keyakinan sebagian besar mereka bahwa “Orang Sabar Disayang Tuhan”. Semoga 1 milyar yang kita keluarkan akhirnya akan mendatangkan 19 milyar sebagai jawaban atas kegundahan hati kita.

Ketiga, Saya jadi hampir menitikkan airmata kala menemukan fakta lain yang terkait “Kampungku Sayang, Kampungku Malang”. Yakni soal jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Timor Tengah Selatan atau TTS Februari 2010 sebanyak 541 balita atau 1,20 persen. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, Yuli Butun seusai melakukan pertemuan dengan duta besar Austria Dr Wolfer dan rombongan Medcare partners di ruang kerja Wakil Gubernur NTT soal bantuan kesehatan dari Dubes Austria di Kupang kamis (15/04/10) mengatakan sementara untuk gizi kurang berjumlah 625 balita atau 13,32 persen dan gizi baik 38.673 balita atau 85,49 persen. Menurut Yuli meningkatknya gizi buruk ini akibat penanganan dari hilir ke hulu yang kurang sehingga di hulu yang menjadi tempat penampungan masalah gizi buruk ini.

Yuli mengungkapkan, diketahui gizi buruk yang sudah ditangani di rumah sakit dan telah sembuh tapi setelah kembali ke rumah siapa yang mengontrolnya atau mengawasi sehingga bisa mengakibatkan hal ini kembali terjadi lagi. Yuli menambahkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan instansi terkait tapi kembali lagi siapa yang punya wewenang untuk mengawasi hal ini, sehingga tidak terjadi peningkatan gizi buruk lagi.

Nada harap, cemas atau nada fals kembali terlontar dari kepala dinas kesehatan tersebut terkait buruknya penanganan kasus gisi buruk di kampung kita mungkin yang mendasari para pahlawan kita untuk menstudikannya ke Salatiga, sebuah daerah yang jauh sekali dan butuh biaya yang besar untuk menuju ke sana dan bahkan tak tanggung-tanggung harus membawa banyak orang agar pelajarannya benar-benar mendarat dengan mulus di banyak kepala, dan kepala-kepala itu akan memunculkan harapan baru dalam penyelesaian kasus tersebut. Kita menanti berita baru terkait penanganan gizi buruk dan sejumlah masalah kesehatan lainnya (contoh kekurangan dokter, kesalahan pemeriksaan di rumah sakit) di media sebagai dampak riil dari studi banding para pahlawan kesehatan di kota metropolitan.

Keempat, Kita bersyukur karena Menteri Pertanian Suswono bersama Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dan Bupati TTS, Paulus VR. Mella berkunjung ke Desa Oebelo, Kecamatan Amanuban Selatan, untuk melihat dari dekat kekeringan yang melanda sebagian wilayah TTS hingga mengakibatkan gagal panen. Kondisi kekeringan mengakibatkan 4.800 ha tanaman pertanian dinyatakan gagal panen yang dialami 16.170 KK. Gagal panen ditopang dengan konsumsi makanan alternatif yang mengandung karbohidrat berupa pisang, ubi-ubian, putak dan lainnya. Dalam kunjungan itu, Mentan Suswono mengatakan NTT merupakan salah satu daerah menunjang ketersediaan pangan di Indonesia.

Diharapkan, jika ada persoalan pangan tidak boleh ditutup-tutupi, tapi harus menyampaikan ke pemerintah setempat untuk mencari solusi. "Jika pemerintah setempat membutuhkan bantuan provinsi atau pusat maka perlu disampaikan," katanya. Memang syukur tapi menggelikan pula karena menterinya datang ke TTS bahkan langsung berkunjung ke daerah untuk melihat langsung kondisi di TTS, sementara para pengambil kebijakan dan eksekutornya malah jauh-jauh berjalan untuk mempelajari tentang hal yang sama di daerah yang jelas-jelas berbeda baik iklim, kondisi sosial dan sejumlah aspek geografis lainnya. Atau mungkin salah jalan? Memang ada yang salah jalan karena kebetulan dan ada yang berencana untuk salah jalan.

Jika demikian, maka segera kembalilah ke jalan yang benar sebelum terlambat. Bisa benar juga kalau ada lobi untuk menteri turun dan melihat langsung keadaan di TTS? Yang tahu hanya melaksanakan. Biar tangan kiri memberi, tangan kanan tak perlu tahu, kata si pelobi. Mulia memang hatinya.

Kelima, Untuk satu kubik mangan, pengumpul memperoleh upah Rp 100 ribu dan pemilik tanah Rp150 ribu. "Awalnya, delapan karung mangan dihargai satu kubik. Belakangan perusahan itu menaikan menjadi 12 hingga 13 karung mangan baru dihitung satu kubik," kata Dan Betty, salah seorang pengumpul mangan. Menurut dia, sebelumnya pengusaha menjanjikan akan menghitung satu kubik mangan dengan delapan karung ukuran 50 kg tetapi kemudian menggunakan alat ukur berupa mal yang membuat warga selaku pengumpul merasa sangat dirugikan.

Alex Djari mengatakan, pertambangan rakyat harus memberikan keuntungan kepada rakyat di samping kontribusi untuk pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTS, Obet Naitboho mengaku, kaget setelah mengetahui bahwa PT Soe Makmur Resources sudah membawa keluar mangan sebanyak 955 meter kubik. Pasalnya, sesuai dengan izin Bupati TTS Nomor:309/KEP/HK/2008 tentang pengambilan sampel mangan, perusahan ini hanya boleh mengambil mangan maksimal 500 kubik atau setara 2.100 ton.

Pertambangan mangan liar di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya merusak lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat adat, tetapi juga telah membunuh sembilan penambang liar selama Juni hingga Oktober 2009. Selain itu, masyarakat setempat juga selalu rugi karena menjual mangan hasil pertambangannya dengan harga Rp 450- Rp 750 per kilogram—jauh di bawah harga jual di Surabaya yang Rp 2.000-Rp 3.000 per kg.

Bupati TTS Paulus Mella di Kupang, NTT, mengatakan, banyak pihak telah memanfaatkan kesempatan mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari keterlambatan penerbitan peraturan pelaksana UU No 4/2009 mengenai pertambangan dan energi itu. ”Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dari pertambangan mangan di TTS, sebagai salah satu penghasil mangan terbesar.

Mangan di TTS memiliki kualitas sampai 45 persen dibandingkan dengan mangan daerah lain. Oleh karena itu, jadi incaran pengusaha mangan,” tutur Mella. Kesimpang-siuran informasi terkait cendana TTS jilid 2 alias tambang mangan ini memang kerap menghiasi halaman depan surat kabar dan berita utama media elektronik. Barang milik masyarakat harganya ditentukan seenaknya oleh pengusaha atas nama investasi dan atas nama upaya mensejahterakan rakyatnya.

Salah satu obyek studi para wisatawan lokal kita adalah mangan di daerah lain tersebut, yang lucunya kalau hanya terkait penetapan harga dan atau terkait regulasi sebenarnya tak perlu jauh-jauh membuang biaya besar keluar daerah, cukup dengan duduk beberapa menit di depan komputer dengan kecanggihan teknologi yang luar biasa kita sudah dapat mengakses gambar, tulisan, petikan informasi, peraturan dan apa saja terkait mangan dan semua jenis barang tambang lainnya di muka bumi, lalu kemudian distudikan dengan seksama, lalu tinggal buat kebijakan. Teman-teman dewan dan SKPD yang sarjana tentu hafal benar kalau studi tak harus mendatangi lokasi dan cukup dengan kepustakaan dan sejumlah sumber langsung lainnya.

Sangat lucu di era yang sangat mengandalkan teknologi informasi ini masih ada orang yang gaptek mengalokasikan uang daerahnya untuk jauh-jauh melakukan sesuatu yang mubazir. Sebenarnya teman-teman kita menganut paham “Lihat Dulu Baru Percaya” jadi mereka sebangsa Kisah Thomas dalam Alkitab yang harus melihat dulu baru percaya tapi mereka lupa kalau Tuhan Yesus berkata “Berbahagialah Mereka yang Tidak Melihat namun Percaya.”

Memang dalam kesibukan harus sempatkan diri berbakti bersama di tempat ibadah untuk mengingat kembali cerita-cerita Alkitab yang bisa menginspirasi kita dengan kebenaran dalam bekerja. Akhirnya dari sejumlah catatan fakta reflektif di atas, maka menurut saya yang penting dilakukan adalah:

- Bahwa 39 anggota DPRD TTS dan sejumlah SKPD telah berangkat untuk menunaikan tugas mulia yakni melakukan pariwisata dan studi banding. Lalu kini kita diperhadapkan pada kebutuhan terkini masyarakat Timor Tengah Selatan. Mari bicarakan alokasi anggaran dan model pendampingan kita untuk mereka yang dalam hatinya mengharapkan dukungan dan keberpihakan kita pada mereka.

- Berbicara mengenai jumlah biaya satu milyar lebih yang telah digunakan untuk perjalanan ini untuk dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan dan pertanggungjawaban lainnya semisal melahirkan aturan dan atau membuat respon cepat sesuai dengan hasil studi tersebut. Senang memang saya dengan laporan tertulis terkait dengan perjalanan ini, tapi alangkah lebih baiknya jika dalam bentuk kegiatan dan respon langsung yang sangat dinantikan oleh masyarakat kita. Laporan pandangan mata dan sejumlah teori dan ocehan ilmiah lainnya bukan menjadi harapan masyarakat. Jadi berlakulah dengan wajar dan berkeadilan dan berkeadaban sesuai dengan misi lembaga perwakilan rakyat dan para abdi negara, abdi masyarakat.

Jangan berlaku tradisional apalagi bergaya para leluhur kita yang sangat lekang berzaman batu.
- Kepada pimpinan daerah, Bapak Paul Mella dan Bapak Beni Litelnoni, untuk tidak dengan serta merta membiarkan sejumlah uang kita terbang entah ke mana. Yang perlu diingat bahwa Kota Soe dan sejumlah desa yang berada di bawah pimpinan bapak berdua sangat mengharapkan tindakan nyata kepada mereka bukan kepada wakilnya (Uang Untuk DPRD dan Kepala Dinas). Intinya tidak ada kompromi untuk kesejahteraan rakyat harus dinomorsatukan. Perjuangan untuk mendapatkan alokasi anggaran dari pusat harusnya dimaksimalkan demi kesejahteraan rakyat Timor Tengah Selatan dan bukannya dibawa kembali keluar dan tidak akan pernah kembali berdampak bagi pembangunan di TTS.

Mari refleksikan geliat ekonomi masyarakat kita yang sangat lemah bahkan berangsur-angsur mati. Padahal kita punya sejumlah aset daerah yang sangat potensial untuk dikembangkan, misalnya pariwisata baik alam maupun bahari, agrowisata, pertanian dengan sejumlah produk unggulannya.

- Kita tak mau membayangkan akan ada lagi berkali-kali bimbingan teknis ke Jawa, berkali-kali kunjungan kerja ke luar daerah, perjalanan dinas, studi banding dan sejumlah agenda korupsi ala baru mengganas di daerah kita dan kemelaratan, kemerosotan kehidupan ekonomi, pendidikan, perkembangan ipteks yang tertatih-tatih menanti di depan mata. Hitunglah sejumlah aset dan kekayaan kita akhirnya keluar karena sejumlah rasionalisasi kita akan pariwisata pemerintahan dan kedewanan yang kita bangun di atas jeritan mereka para jelata. Nasibkah itu? Jangan lupa mereka yang melahirkan kita sementara menanti hasil kerja yang terpuji dan membanggakan. Jika tak ada itikad baik untuk memulai, maka sesungguhnya kita sementara berpesta di atas alas yang berwujud tandu.

Tentunya dipikul sejumlah hamba tanpa kenal lelah. Teruslah menyiksa dan yakinlah kelak badai menanti. Ingat teman-temanku, hai para wakil rakyat dan abdi masyarakat jangan pernah terulang kisah yang sama untuk kedua kalinya. Ingatlah pepatah tua “Hanya Unta Saja yang Terantuk pada Batu yang Sama”.

- Kepada masyarakat, mahasiswa, kaum muda, insan pers, media cetak, elektronik dan lembaga berwenang terima kasih banyak untuk semua yang indah dan agar jangan lelah dalam berkarya, melihat, mengontrol dan mengawal setiap tindakan yang beraroma tajam menusuk ke jantung kesengsaraan rakyat. Bukan tidak mungkin kita membutuhkan penjelasan yang detail terkait jumlah dana, jumlah peserta bahkan seluruh potensi daerah yang digunakan untuk perjalanan ini.

Pihak kepolisian dan kejaksaan untuk dapat melihat proses ini bahkan secara internal jika terbukti melanggar aturan untuk dapat ditindak tegas dan jika tidak maka syukurlah kita mungkin mendapatkan kejujuran dalam ketidakjujuran. Sesungguhnya kebenaran tetap akan menjadi kebenaran walau ditenggelamkan di bagian jagad raya mana pun.

Demikian potret buram dan carut –marut kisah perjalanan kampung kita Timor Tengah Selatan tercinta. Memang tak harus ditangisi atau disesali tapi sudah sepantasnya ini menjadi perhatian dan membutuhkan respon cepat dari kita yang masih diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengelola dan berbakti bagi Sonaf (istana) kita yang tak harus kita rubah menjadi Sane (rumah lepas) atau Uem Lene (gubuk tua di kebun) yang tak diperhatikan.

Semoga Tuhan menolong kita menemukan jalan terbaik dan nurani tergerak membangkitkan kreatifitas dalam kejujuran dan ketepatan karya. Resah dan gelisah kami menunggu karya, cipta dan bhaktimu hai wakil rakyat yang terhormat dan abdi negara. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Ekspress, tanggal 11 Mei 2010).