Rabu, 25 Agustus 2010

SIAPA YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB?

(Refleksi akan Ironisnya kemerdekaan anak bangsa dan kedaulatan mutlak negara dalam model penjajahan baru oleh bangsa lain bahkan saudara serumah)

Oleh. David Natun, S.Pd.

Guru Geografi dan Sosiologi SMP Negeri 2 Kupang, juga Ketua Serikat Persudaraan Guru Kota Kupang (SPG 09)


Nusa Tenggara Timur sebagai daerah kepulauan dengan 1192 pulau baik besar dan kecil (bahkan sebagian besar belum diberi nama), secara administratif terdiri dari 20 kabupaten dan 1 Kota, 286 Kecamatan, 303 Kelurahan dan 2472 Desa dengan 4.474.954 juta jiwa penghuninya. NTT juga merupakan wilayah perbatasan laut dan darat secara otomatis karena posisinya secara geografis yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia. Luas lautnya 200.000 km2 sedangkan luas daratan relatif kecil yakni 48.718, 10 km2 tentunya memberi pengaruh pada pola pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Sebagai daerah sedang berkembang tentu sebagian dari masyarakat kita bermukim di gunung/pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan peternak sedangkan sebagian kecil penduduk bermukim di daerah pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan tentu berupaya dan memaksimalkan hasil laut yang sangat luas ini sebagai upaya mempertahankan hidupnya dengan mencari dan menjual hasil laut dalam berbagai bentuk. Dengan demikian laut tentunya perlu dijaga dan diperlihara demi keseimbangan hasil dan kesinambungannya bagi mereka yang menghidupi diri darinya dan lebih bagi anak cucu kelak. Namun sayang NTT tentu tak lepas dari sejumlah cerita yang membuat kita sangat terganggu mungkin juga terharu dan merasa seperti belum merdeka, jauh dari kebebasan, masih dijajah, diadili dan tak mendapat perlakuan yang wajar sebagai anak bangsa, warga Negara berdaulat dan sebagai umat manusia yang pada dasarnya berhak atas penghidupan dan kemakmuran hidup atas kerja keras dan upaya yang kita peroleh dalam berbagai bentuk kerja.


Sebagai warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Pusat Pemerintahan Propinsi saya mencermati sejumlah berita tentang NTT yang berkembang baik dimedia cetak maupun media elektronik dalam beberapa waktu terakhir terkait bagaimana perlakuan Negara lain atas masyarakat, alam dan lingkungan kita yang seharusnya mendapat perhatian serius dari kita semua terutama pihak yang berkompeten untuk menyuarakan dan mengambil keputusan sebagai langkah konkrit melindungi dan menjamin kehidupan warga. Beberapa persoalan tersebut ringkasnya dapat dilihat dalam catatan dibawah ini :

  1. Aksi kurang terpuji yang sering kali ditonjolkan oleh para petugas patroli negeri Kanguru Australia dalam mengawal daerah perbatasan perairan antara Indonesia dan Australia. Banyak fakta dimana para nelayan kita ditabrak dan dengan sengaja dibakar perahunya lalu ditahan di negeri seberang dengan berbagai alasan dan proses pengadilan pun berlangsung walau bisa dikatakan sepihak. Banyak korban harta benda, materi dan korban kekerasan fisik yang dialami oleh nelayan kita sebagai akibat dari kebrutalan para petugas pengawal daerah perbatasan laut. Sebagai contoh pada bulan oktober 2009 dua kapal nelayan kita ditabrak oleh kapal patroli pemerintah Australia dengan alasan yang kurang jelas. Berikut dalam pemberitaan sering kali Pemerintah Australia melarang nelayan tradisional kita mencari ikan di Laut Timor yang jelas milik kita. Australia mengklaim wilayahnya sampai Laut Pulau Pasir, 50 mil dari Pulau Rote Ndao. Banyak nelayan kita yang ditangkap dan diproses secara hukum di Australia bahkan kalau dengan cermat kita hitung telah mencapai ratusan orang. Persoalan ini tentu merugikan pihak masyarakat NTT. Adalagi kasus kematian Wahidin (Yang sesuai kronologisnya mereka bertemu dengan kapal patroli Australia saat sedang menyelam mencari teripang- dan diberitakan pada bulan Februari 2010). Salah satu nelayan asal Oesapa yang dinyatakan meninggal tersebut setelah memperoleh perawatan dokter di kapal patroli Australia di Laut Timor. Kematian yang dinilai janggal karena dokter tidak menyebutkan sebab kematian. Karena Wahidin sakit, ia dirawat di kapal tersebut, tetapi anehnya teman-teman Wahidin dilarang menyaksikan bagaimana Wahidin dirawat hingga kematiannya.
  2. Berikut Kamis 12 Juli 2010 beberapa patroli negeri Kanguru kembali melakukan tindakan tersebut dengan alasan yang sama seperti di lansir oleh Metro TV dengan lebih jelas dalam running teks yang ditayangkan berulang-ulang. Padahal dalam pengakuan tulus dari para nelayan kita yang tentunya merupakan orang kecil tanpa pengacara besar ini adalah mereka bukan pelaut baru yang tidak mengerti dengan proses melaut apalagi terkait dengan wilayah perbatasan mereka menggunakan GPS dan Peta sebagai petunjuk agar tidak melanggar zona perbatasan. Sejak nenek moyang mereka sudah sering melaut, tetapi baru beberapa waktu terakhir ini ada perlakuan seperti ini. Ini fenomena menarik karena walaupun pada Maret 2010 kemarin dalam kunjungan kerja Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mendampingi Presiden SBY ke Australia dalam rangka membicarakan kerja sama dan semua persoalan perbatasan antara Indonesia dan Australia telah disampaikan untuk tidak ada lagi perlakuan seperti tersebut diatas kepada nelayan kita tetapi masih belum final juga perulangan fenomena ini.
  3. Berikut kita di sajikan lagi dengan persoalan pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak dari ladang minyak Montara di Blok Atlas Barat sejak 21 Agustus 2009 dengan dampak yang sangat panjang dan penyelesaian yang sungguh berbelit-belit. Akibat meledaknya ladang minyak tersebut menumpahkan sekitar 500 ribu liter minyak mentah ke laut setiap hari dan telah mematikan ribuan ekor ikan di wilayah perairan tersebut. Gumpalan minyak mentah tersebut juga secara jelas ditemukan para nelayan Oesapa Kupang sepulang melaut. Tumpahan minyak ini telah mencemari sekitar 90.000 kilometer per segi wilayah perairan Laut Timor. Dari luas jangkauan pencemaran minyak tersebut, diperkirakan 75 persen di antaranya berada di wilayah perairan Indonesia menurut Ferdy Tanoni Ketua Yayasan Peduli Timor Barat. Namun sampai sekarang belum jelas pangkal penyelesaiannya. Ada apa dengan semua ini?


Dari tiga ringkasan singkat diatas maka saya ingin sampaikan beberapa catatan kritis sebagai upaya mencermati dan memberi tanggapan atas fenomena tersebut, sekaligus ini sebagai refleksi atas peringatan hari kemerdekaan bangsa kita versus kemerdekaan sejati anak bangsa : bahwa apakah kita sudah merdeka dan berdaulat sebagai negara dan bangsa serta menikmatinya dalam terang kebersamaan dan kemerdekaan tersebut dan apakah kita sudah merdeka dan benar-benar menggunakan kedaulatan kita dengan sejumlah kekayaan alam baik didarat maupun dilaut demi memerdekakan warga negara dari belitan dan himpitan ekonomis? Catatan tersebut antara lain :

  1. Apakah kita tidak sama sekali memiliki posisi tawar dalam upaya penyelesaian sejumlah hal terkait dengan tindakan sewenang-wenang negara lain terhadap kita sehingga kita hanya bisa pasrah pada belas kasihan sebagai upaya penyelesaian kasus tersebut (Masih segar dalam ingatan bagaimana klaim upaya pemilikan paksa negara lain atas pulau-pulau terluar yang belum di huni padahal jelas-jelas merupakan milik kita bahkan sampai berbuntut unjuk kekuatan militer menuju konflik dan kasus penembakan warga di daerah perbatasan). Berikut jika mungkin kita perhatikan kembali terkait dengan sejumlah regulasi dan catatan historis geografis yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah perbatasan sebagai upaya memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada masyarakat kita dalam aktifitasnya sekaligus menjadi ingatan pada pemeritah Negara tetangga lainnya dalam upaya pengelolaan perbatasan tanpa dominasi dan kesewenang-wenangan atas nama apapun. Karena dengan demikian kita membantu masyarakat kita untuk bermata pencaharian dalam ketenangan sebagai bagian dari kemerdekaan sejatinya sebagai warga negara merdeka sehingga kita tidak membuat anak bangsa ”Rest In Peace” melainkan ”Life In Peace”.
  2. Ironis memang negara kita sebagai negara maritim dan lebih khusus untuk NTT sebagai wilayah kepulauan yang tentu penting untuk kita memberi perhatian pada upaya pengelolaan dan pemanfaatan hasil laut sebagai upaya memakmurkan dan memajukan kesejahteraan masyarakat, tetapi realitasnya perhatian pada urusan kelautan dan sejumlah hal terkait perbatasan laut ternyata lemah. Sebagai bukti konkrit Angkatan laut dan Polisi perairan kita yang jumlahnya sangat terbatas sehingga ada sinyalemen perlakuan terhadap negara kita dan terutama wilayah NTT dan warganya tidak sama sekali memperhitungkan kemampuan kita memproteksi diri dari serangan dan tindakan sewenang-mewang tersebut. Belum lagi perhatian dan alokasi anggaran dari pemerintah pusat untuk pengelolaan wilayah perbatasan yang sangat minim membuat kita tak berdaya dalam mendampingi warga kita menyelesaikan persoalan – persoalan kemasyarakatan diwilayah perbatasan seperti diatas. Mungkin ini yang disebut-sebut dengan tidak adanya pemerataan pembangunan diseluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia sembari pada saat yang sama sebagai warga perbatasan kita dituntut untuk menjaga keutuhan negara dari rongrongan dan gangguan negara lain. Kita tentu tak bisa menghayal dan mengulangi kejayaan ”Bambu Runcing” dalam melawan penjajah ratusan tahun lalu untuk digunakan dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI yang sama kita cintai ini pada saat ini. Sebagai bukti hingga hari ini pemerintah negara penyebab persoalan masih selalu berkelit terkait penyelesaian persoalan pengrusakan dan penangkapan nelayan kita serta pencemaran laut Timor yang sangat jelas memberi akibat buruk bagi hasil laut kita dan seiring dengan nada tegas pemerintah kita yang suka berargumentasi masih membentuk team pencari fakta, team alokasi anggaran, team pencari alasan dan The Dream Team lain yang hasilnya tak kunjung datang, sementara kebutuhan hidup terus menuntut. Alasan tunggal yang sering kita amini hanya karena nelayan kita melanggar batas – batas perairan yang telah ditetapkan sehingga patut mendapat perlakuan tersebut. Benarkah demikian? Ini sepertinya bentuk kemerdekaan penguasa menterjemahkan arti kemerdekaan versinya dengan tenang dan bersahaja tak berbeban tanpa memberi arti kemerdekaan yang sama pada pemberi kekuasaan yang sejatinya patut menikmati kemerdekaan tersebut.
  3. Para nelayan tradisional kita tentu perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah kita terutama instansi terkait misalnya perikanan dan kelautan sebagai upaya mendidik dan mensosialisasikan sejumlah regulasi terkait dengan upaya mereka mencari hasil laut tanpa harus melanggar wilayah negara lain. Ini penting karena bagaimanapun kita tentu memiliki hak penuh dalam upaya mencari hasil pada wilayah yang adalah milik kita. Kita mesti bersepakat untuk menyelesaikan seluruh persoalan ini sebagai bagian dari komitmen pada upaya mensejahterakan masyarakat dan tidak berlarut – larutnya hal ini sehingga menghambat seluruh usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhannnya dan lebih dari itu sebagai bagian meningkatkan taraf hidupnya seiring Undang-undang dasar negara kita yakni secara arif dan bijaksana memberikan perlindungan, perhatian dan menjamin kesejahteraan warga negara.
  4. Melihat realitas ini ternyata menjadi penting dan mendesak perjuangan panjang kita menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan (Seperti Kepulauan Riau, dll), kerena dengan itu kita akan diberi porsi alokasi anggaran, kue pembangunan dan perhatian logis secara geografis dan astronomis sebagai wilayah perbatasan yang kerap distigmakan secara politis terbelakang, termiskin dan ter-kurang lainnya. Kita mesti terdorong sangat untuk menjadikan penyelesaian fenomena diatas sebagai langkah awal dengan membangkitkan semangat gerakan pemanfaatan potensi laut sebagai upaya memaksimalkan hasil laut dari pesisir sampai laut dalam sesuai batas-batas yang ditetapkan. Apa kekuatan kita? Pertama tentu luas laut kita yang hampir 4 kali luas daratan tentu menjanjikan bagi upaya perbaikan ekonomi masyarakat, karena laut seluas ini tentu menyimpan hasil yang variatif dan secara bombastis bisa dikatakan mampu memberi topangan bagi setengah dari total jumlah penduduk kita (Ada ikan Alor yang nikmat, ikan bakar khas Kota Kupang dari perairan Ombai, Sulamu, Ikan Labuan Bajo, Ikan Rote, Ikan Sabu, ikan Sumba, lobster, teripang Rote Ndao, dll). Kedua kita memiliki 4 Fakultas Perikanan di ibu kota dengan akademisinya, analisanya, out put lainnya, kita juga punya hampir selusin sekolah perikanan dan ilmu kelautan yang tersebar di ibu kota dan kabupaten-kabupaten tentu menjadi landasan yang kuat bagi pergerakan menuju eksplorasi hasil laut yang ramah dan menguntungkan. Jangan lupa bahwa banyak nelayan asing dan para penyerobot lainnya terus berkeliaran mengambil kekayaan kita sementara kita masih berkutat dengan kemiskinan, kemelaratan dan problem sosial lainnya sebagai menu vaforit yang di idamkan sebagian pengambil keputusan untuk study banding atau banding study terus menerus. Ingat jangan sampai kita mesti malu karena kita punya semua potensi perikanan diatas tetapi tak satupun kaleng ikan ber-merk NTT yang muncul dipermukaan karena kita masih suka mengkonsumsi ikan dari kaleng berhuruf aneh dari negeri tetangga. Bayangkan berapa tenaga kerja yang bakal terserap jika ada perusahaan ikan di NTT dan tentu selaras dengan kecerdasan anak kita karena mengkonsumsi ikan segar dengan gizi yang tinggi. Ketiga dengan luas laut semacam ini tentu sangat menjanjikan pula potensi pariwisatanya (Sesuai hasil seminar bersama Akademisi UKSW Salatiga dan Pemda Propinsi disayap kanan Aula Eltari dan amatan langsung saya mengelilingi Nusa Tenggara Timur tercinta). Dipastikan dalam seminar tersebut bahwa jika kita menggunakan potensi laut untuk memajukan sektor pariwisata maka kita akan memanen perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Banyak tenaga kerja yang akan terserap dalam segala sektor pendukung pariwisata. Kita hanya mempersiapkan infrastruktur pendukung dan terutama mempersiapkan karakter masyarakat kita sebagai daya dukung sosial dalam menunjang potensi pariwisata kita. Sebut saja ada pantai Pantai Nembrala dengan potensi berselancar dunia menyaingi Kuta Bali, taman laut di Alor yang menyaingi Bunaken sebagai wisata bawah laut terindah, gugusan pulau menawan Labuan Bajo dilengkapi Komodo sebagai kekayaan dunia, Pantai Kolbano dengan pasir putih, gelombang bergulung tinggi dan batu warna yang tak ada di tempat lain. Ini kekuatan kita yang riil bagi upaya merubah stigma NTT menjadi Positif dan berdaya saing dalam bingkai komitmen memberi nuansa kemerdekaan sejati bagi anak bangsa. Ini kekuatan kita dan banyak teori perkembangan serta realitas mengajarkan kita untuk melihat potensi sebagi kekuatan untuk maju bukan mengeluh dengan kekurangan lalu tetap berjalan ditempat bahkan mundur. Jika demikian mari kita bangun optimisme kita dengan sumber daya yang ada.
  5. Refleksi ini dibuat bukan atas dasar kecintaan pada tanah air Indonesia dan NTT khususnya dan dialas pada prinsip dasar kemanusiaan terutama hubungan antar sesama dimuka bumi yang setara dan seimbang. Kita menaruh harapan besar pada upaya penyelesaian yang serius dan berkembang dan tentu berharap adanya itikad baik pemerintah negara tetangga agar tidak ada yang dirugikan dalam semua upaya penyelesaian persoalan tersebut. Dalam nuansa perayaan kemerdekaan bangsa kita, ini menjadi tamparan bahwa ternyata masih ada saja yang ingin merampas kebebasan kita dalam memenuhi kebutuhan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dan diakui oleh seluruh negara dimuka bumi. Kiranya kita akan segera mendapatkan perlakuan yang wajar sebagai contoh ganti rugi terhadap nelayan kita dan lebih lagi ganti rugi kepada nelayan akibat tumpahan minyak yang memberi pengaruh pada hasil tangkapan. Mari kita sepakat menginspirasi diri dan memulai relasi sebagai sesama anak bangsa Indonesia dan negara tetangga dengan mimpi bahwa ” Tetanggaku kau Idamanku, tetanggaku kau belahan hatiku, bersama mari raih mimpi menjadikan bumi layak dihuni dalam semangat kemerdekaan sejati”. Tuhan Memberkati NTT dan Bumi dimana kita huni sekarang. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Ekspress, tanggal 19 Agustus 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar