BAB 1
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang.
Pembangunan
membawa dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat tetapi dibalik semua
itu ada sejumlah masalah berkaitan dengan lingkungan. Jika pembangunan
dilakukan hanya memperhatikan faktor ekonomi saja maka faktor lingkungan akan
dilupakan. Padahal masalah lingkungan bukan berpengaruh pada saat ini saja
tetapi dampaknya sampai ke anak cucu. Negara-negara dunia ketiga dan berkembang
selalu memacu pertumbuhan ekonomi agar kesejahteraan rakyatnya cepat tercapai.
Mereka masih memperhatikan bagaimana cara menyediakan kebutuhan pokok bagi
rakyatnya, seperti pangan dan sebagainya. Namun negara-negara maju telah
berpikir jauh ke depan tidak lagi dipusingkan dengan masalah-masalah tersebut,
karena perekonomiannya sudah lebih baik. Mereka memikirkan agar masa depan
lebih baik dengan lingkungan yang sehat dan mewariskannya kepada anak cucu.
Pembangunan
bagai dua sisi mata uang pada satu sisi membawa kemakmuran bagi masyarakat dan
pada saat yang sama menimbulkan kerusakan lingkungan akibat manusia hanya
berpikir untuk manusia dan tidak berpikir secara menyeluruh mengenai lingkungan
dimana ia barada. Banyak kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang terjadi
karena tuntutan hidup dan rendahnya pengetahuan tentang lingkungan hidup itu
sendiri. Negara terbelakang dan berkembang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Dengan
pendidikan yang terbatas dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang mendesak
membuat masyarakat miskin berusaha untuk mempertahankan hidupnya tanpa ada
terlintas dalam pikirannya tentang kelestarian lingkungan. Apalagi jika
masyarakat miskin itu tinggal di sekitar hutan, maka hutan akan menjadi sasaran
eksploitasi yang menyebabkan kerusakan hutan. Kemiskinan masyarakat merupakan
salah satu penyebab kerusakan lingkungan tetapi masih banyak lagi faktor-faktor
yang lain. Faktor perbedaan pandangan dan pemenuhan kebutuhan inilah yang
membuat kerusakan lingkungan lebih banyak terjadi pada negara-negara
berkembang. Bahkan negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi sasaran
pembuangan limbah-limbah industri dari negara-negara maju. Contoh kerusakan
lingkungan seperti pencemaran lingkungan yang terjadi dengan intensitas yang
berbeda-beda, baik dari pembuangan limbah yang tidak beracun sampai kepada
limbah beracun yang sangat berbahaya.
Sumber
daya alam merupakan sesuatu yang terdapat di muka bumi yang dapat dimanfaatkan
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan segala sesuatu yang
terdapat di hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Sumber daya hutan sangat bersifat dinamis berubah dari waktu ke waktu,
dari tempat satu ke tempat yang lain.seiring dengan perkembangan kebutuhan
manusia. Sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui, harus dilestarikan
mulai dari sekarang, karena jika tidak dilestarikan, kelestarian alam akan
terganggu. Hutan mempunyai banyak fungsi, Indonesia adalah salah satu negara
dengan sumber daya hutan terbesar di dunia. Banyak sekali spesies tanaman yang
terdapat di dalam hutan Indonesia. Hutan merupakan sumberdaya yang tidak
ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber
plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air,
pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Namun
ada fakta yang menggelisahkan terkait pengelolaan sumber daya hutan dan
pemanfaatannya untuk kepentingan manusia.
Degradasi
hutan kini merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan
dimuka bumi padahal kita tahu bahwa hutan bukanlah warisan nenek moyang, tetapi
pinjaman anak cucu kita yang harus dilestarikan bagi kepentingan nanti. Manusia
sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan
pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak
cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya
sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran
antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi
seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai”
hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka
keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak didominasi
untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang
daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber
penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa
melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan
sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan
perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung
tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu
dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitatif yang akhirnya menimbulkan
kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga
seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam
mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.
Berdasarkan uraian pentingnya hutan diatas,
maka perlu adanya upaya meneropong masalah ini dalam konteks wilayah Nusa
Tenggara Timur sebagaimana akan diuraikan pada makalah ini. Bagaimana kerusakan
hutan di Nusa Tenggara Timur serta dampaknya bagi kehidupan makhluk hidup kini
dan nanti.
b.
Perumusan Masalah
Yang menjadi
masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
- Bagaimanakah permasalahan lingkungan di Indonesia dan Nusa Tenggara Timur.
- Bagaimanakah fakta kerusakan hutan di NTT.
- Apa saja upaya pihak terkait dalam mengurangi kerusakan lingkungan di Nusa Tenggara Timur.
c.
Tujuan dan Kegunaan
c.1. Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai bagian
dari upaya menemukan permasalahan lingkungan di Indonesia dan khususnya di NTT.
2. Menguraikan fakta
kerusakan hutan di NTT dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi
terjadinya kerusakan hutan serta upaya memperbaiki kerusakan yang ada.
c.2. Kegunaan Penulisan
Kegunaan
dari makalah ini adalah :
1. Menjadi referensi
bagi penulis selanjutnya dalam pembahasan tentang kerusakan lingkungan
khususnya kerusakan hutan di wilayah Nusa Tenggara Timur
2. Menjadi bahan
pembelajaran bagi pembaca untuk turut serta dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan khususnya hutan bagi kepentingan kini dan nanti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Lingkungan Hidup.
Lingkungan yaitu suatu media dimana makhuk hidup tinggal, mencari
penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait
secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama
manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks. Selain itu, lingkungan
merupakan segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi
perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan
dapat dibedakan menjadi lingkungan biotik (makhluk hidup) dan abiotik (benda
mati). Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara,
air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme
(virus dan bakteri).
Dalam kamus lingkungan hidup yang disusun
Michael Allaby (1979), lingkungan hidup itu diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition
surrounding and organism. McNaughton
dan Wolf (1973) mengartikan lingkungan hidup dengan semua faktor eksternal yang
bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi organisme. Seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi)
terkemuka mendefinisikan lingkungan hidup sebagai berikut: Lingkungan adalah
jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita (Soemarwoto;2001). Danusaputro (1980), ahli hukum lingkungan
terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran mengartikan
lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia
dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan
mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
Selanjutnya (UUPLH 1982), mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan
ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya
manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Beroya (2000) mendefinisikan lingkungan
sebagai segala sesuatu yang melingkupi organism yang dapat memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya, pada saat yang sama juga dapat memengaruhi
lingkungannya. Lingkungan juga merupakan semua benda atau kondisi dimana
manusia dan aktifitasnya terdapat dalam ruang dimana manusia tersebut
memengaruhi kelangsungan hidupnya. Jadi semua hal termasuk manusia merupakan
lingkungan dan perubahan diantara keduanya akan saling memengaruhi antara satu
dengan yang lainnnya (Darsono;1992).
b.
Kerusakan Lingkungan.
Kerusakan lingkungan
hidup
di Indonesia semakin hari kian parah. Kondisi tersebut secara langsung telah
mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko
bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Kerusakan
lingkungan hidup dapat diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu
(kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya
sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan
ekosistem. Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak langsung bagi
kehidupan manusia. Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and
Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh
ancaman terhadap kemanusiaan. World Risk Report yang dirilis German
Alliance for Development Works (Alliance),
United Nations University Institute for Environment and Human Security
(UNU-EHS) dan The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 menyebutkan bahwa
kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi
rendahnya risiko bencana di suatu kawasan.
Sejak beberapa dasawarsa terakhir masyarakat
dunia termasuk akademisi semakin concern terhadap masalah-masalah lingkungan,
ini diakibatkan oleh karena manusia menghadapi suatu realitas dimana bumi kita
hanya satu itu semakin ringkih akibat semakin dijejali oleh beban yang sangat
berat. Beban berat bagi lingkungan dipicu oleh populasi penduduk yang kian
bertambah menjadi 7 milyard pada tahun 2011, disamping itu juga oleh teknologi
yang dikembangkan manusia untuk menopang kehidupan bersifat ambivalen, dan
mentalitas manusia yang serakah dan tidak peduli lingkungan. Degradasi
lingkungan berjalan semakin cepat karena sumber daya alam yang diambil,
dikelola dimanfaatkan dan membuang limbahnya mempergunakan media lingkungan.
Pencemaran lingkungan semakin intensif karena berkembangnya industry diberbagai
kawasan, diberbagai Negara dengan jalan membangun berbagai jenis pabrik baik
berskala kecil, maupun berskala besar. Industri menjadi pilihan yang mutlak
karena melalui industri akselerasi pencapaian tingkat kesejahteraan. Penduduk
yang bertumpu pada sektor primer tingkat perkembangan kesejahtraan sangat
lambat, kalau tidak didukung oleh teknologi melalui indusrialisasi (Arjana;
2013)
Penyebab
kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua faktor
yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi,
banjir, abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami
merupakan beberapa contoh bencana alam
.
Bencana-bencana tersebut menjadi penyebab rusaknya lingkungan hidup akibat
peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana seperti banjir,
abrasi, kebakaran hutan dan tanah longsor
bisa saja terjadi karena adanya campur tangan manusia juga. Penyebab kerusakan
lingkungan yang kedua adalah akibat ulah manusia. Kerusakan yang disebabkan
oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam
mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan
cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia
yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan
hutan dan
alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran
udara,
air, dan tanah dan lain sebagainya.
c.
Hutan dan Kerusakan.
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi
dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini
terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung
karbon dioksida (carbon dioxide sink),
habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan
salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Hutan adalah bentuk
kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di
daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di
pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Jenis-jenis hutan yang ada di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (1999) , antara lain :
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Jenis-jenis hutan yang ada di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (1999) , antara lain :
- Hutan Bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur Kalimantan, pantai selatan Cilacap.
- Hutan Sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa Tenggara Timur.
- Hutan Rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan.
- Hutan Hujan Tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ekuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan Kalimantan, hutan Sumatera, dan sebagainya.
- Hutan Musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan. Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
- Hutan Wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan/binatang langka agar tidak musnah/punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai bukan hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.
- Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.
- Hutan Lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
- Hutan Produksi/Hutan Industri yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak. (Suparmoko : 1997 ; 239)
Berdasarkan
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan mendefinisikan hutan sebagai
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan di atas, terdapat
unsur-unsur yang meliputinya yaitu: a. Suatu kesatuan ekosistem, b. Berupa
hamparan lahan, c. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, d. Mampu memberi manfaat
secara lestari.
Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan
areal hutan karena kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan ditambah juga penggundulan dan alih
fungsi lahan hutan atau istilahnya deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry Research) menelaah tentang penyebab
perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan berpindah, perambahan
hutan,
transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman, pembalakan dan industri perkayuan.
Selain itu kegiatan illegal logging
yang dilakukan oleh kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara
illegal oleh oknum-oknum. Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan
kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat
beranekaragam jenis pohon dirubah menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologis di areal tersebut. Beberapa
jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai habitatnya akan berpindah
mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa
sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negative terhadap emisi gas rumah kaca.
Pengertian degradasi hutan memiliki arti yang
berbeda dan bervariasi tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Sebagian
mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami
kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu
pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya.
Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis
dan sosial hutan tidak terpenuhi.
Adapun
fungsi hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : mengatur tata air, mencegah
dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah, menyediakan hasil
hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan
pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional
pada umumnya, melindungi suasana iklim ataupun pengatur suhu lingkungan, memberikan
keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka
margasatwa, taman perburuan, dan taman wisata serta berbagai laboratorium untuk
ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata, sebagai penyaring udara. Hutan
dapat menyerap CO2 di lingkungan yang sedang tercemar oleh asap
kendaraan bermotor, asap pabrik ataupun gas buangan lainnya, hutan merupakan pelindung
terhadap angin. Lebatnya vegetasi di suatu hutan mengurangi dan mencegah kencangnya tiupan
angin yang terlalu kuat bagi tanaman
budidaya ataupun bagi daerah pemukiman,
hutan merupakan penyangga hama dan penyakit. Jika pada suatu waktu
timbul ledakan suatu penyakit atau hama, maka akibatnya bisa diperkecil karena
penampungan oleh hutan. (Suparmoko : 1997 ; 235).
5.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Permasalahan Lingkungan.
Isu-isu aktual tentang lingkungan semakin beragam karena lingkungan
hidup manusia menjadi tumpuan makhluk hidup, tumpuan umat manusia untuk hidup
dan berkembang sehingga memicu munculnya berbagai konflik dan kepentingan.
Dalam beberapa hal konflik-konflik itu memicu munculnya kegalauan manusia
menghadapi realitas kehidupan. Sampai awal 2012, dapat diinventarisasi isu-isu
lingkungan baik yang sifatnya lokal, nasional maupun global seperti berikut :
- Perubahan iklim global
- Krisis energi, terutama energy yang berasal dari fosil
- Krisis sumber daya alam, karena telah terjadi deplesi
- Degradasi hutan, terutama hutan di negara-negara tropis
- Polusi air, lahan, dan udara, yang disebabkan oleh industrialisasi dan perkembangan alat transportasi
- Bangkitnya komunitas lokal yang sadar akan hak lingkungan hidup sehat
- Bangkitnya komunitas lokal anti tambang yang menuntut keadilan
- Tantangan pembangunan berkelanjutan yang usianya lebih dari dua decade
- Bencana alam yang jenis, frekwensi dan intensitasnya makin besar (Arjana ; 2013)
Beberapa fakta
terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia
akibat
kegiatan manusia antara lain:
- Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna.
- Tigapuluh persen dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut.
- Tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran laut di Indonesia. Bahkan pada 2010, Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai paling tercemar di dunia oleh situs huffingtonpost.com. World Bank juga menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City.
- Ratusan tumbuhan dan hewan di Indonesia yang langka dan terancam punah. Menurut catatan IUCN Redlist (2001), sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered, serta 557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.
1. Sistem perladangan berpindah. Sistem ini
dilakukan oleh penduduk yang tinggal di kawasan atau di pinggir hutan. Pertanian dilakukan
dengan cara yang masih sangat
sederhana yaitu dengan cara menebang pohon dan lalu dikeringkan dan kemudian dibakar.
Selanjutnya tanah yang merupakan lahan
pertanian tidak diolah, melainkan langsung ditanami. Lahan pertanian ini dimanfaatkan hanya dalam jangka waktu 3-4 tahun.
Jika sudah tidak diolah lagi sebagai lahan pertanian, maka akan
ditinggalkan. Pada dasarnya sistem perladangan berpindah tidak berdampak
negatif terhadap lingkungan karena luas lahan
yang dibuka relatif sempit
yaitu berkisar antara 2-3 hektar.
Akan tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai
berkembang, maka degradasi hutan Indonesia menjadi semakin luas dan bertambah
parah kondisinya. Sistim ini paling banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur.
2. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara
kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan
konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah
merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan
lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan
praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat
terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove,
1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai
kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan
HPH.
3.
Perambahan hutan. Perambahan hutan adalah
pemanfaatan kawasan hutan secara illegal oleh masyarakat untuk digunakan
sebagai lahan usaha pertanian dan pemukiman. Masyarakat yang merambah hutan
disebut sebagai perambah hutan. Perambah hutan tidak selalu bermukim di areal
hutan yang dirambah, tetapi ada juga yang
tinggal diluar kawasan hutan. Pada umumnya perambahan hutan
dilakukan oleh penduduk karena
jumlah penduduk yang semakin bertambah namun jumlah lahan
tetap, sehingga banyak penduduk yang tidak memiliki lahan.
4. Pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan) adalah
izin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk untuk kegiatan tebang pilih di
hutan alam selama periode tertentu, pada umumnya 20 tahun, dan diperbaharui
untuk satu periode selanjutnya, pada umumnya 20 tahun lagi. Pemberian izin HPH
ini memberikan kontribusi positif dalam hal penerimaan negara, namun demikian
di sisi lain izin HPH juga meninggalkan
suatu permasalahan baru yaitu kerusakan hutan. Persyaratan dan
ketentuan-ketentuan yang mengatur pengusahaan hutan tidak dilaksanakan sehingga
kayu hutan dibabat habis. Kerusakan hutan terkait dengan pengusahaan hutan
ini antara lain dapat
disebabkan karena kurangnya pengawasan,
mentalitas dan integritas pengawas yang buruk, pengusaha kurang
bertanggungjawab, dan sikap pengusaha yang tidak peduli pada lingkungan.
Kerusakan hutan akibat bencana alam relatif kecil, kecuali jika terjadi
kebakaran hutan karena petir, namun hal ini jarang terjadi. Penyebab kebakaran
hutan yang banyak terjadi adalah oleh ulah manusia. Bencana alam lainnya
seperti longsor dan badai biasanya tidak menyebabkan kerusakan hutan yang
berarti karena terjadi pada perluasan yang terbatas/sempit (Eddy : 2003).
Sebagai contoh lain terkait dengan HPH adalah alih fungsi hutan menjadi kebun
kelapa sawit sebagai bagian dari persekongkolan antara pengusaha, penguasa dan
kreditur asing sejak masa orde baru hingga orde reformasi kini. Banyak pemilikk
modal mengeruk keuntungan besar dari komoditas kelapa sawit dan pada saat yang
sama hutan dirusak dan diambil hasilnya untuk kepentingan segelintir manusia. Sewaktu
hutan masih lebat, para pemilik modal mengeruk keuntungan melalui perusahaan
kertas dan bubur kertas, setelah lahan dibuka dan ditanami tanaman perkebunan
para pengusaha diuntungkan dengan komoditas kelapa sawit yang sangat laku
dipasar dunia. Data dirjen perkebunan RI perkebunan kelapa sawit mengalami perluasan yang sangat
pesat. Perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) yang pada awal perkembangannya
diawal 1980-an hanya memiliki luas sebesar 3.125 ha, pada tahun 2009 telah
berkembang menjadi hampir 3 juta ha. Dengan kata lain dalam kurun waktu 30
tahun telah berlangsung perluasan sebanyak seribu kali. Sedangan untuk kategori
perusahaan perkebunan Negara (PBN) pada tahun 1967 luasnya hanya 65.573 ha
menjadi 617.169 ha pada tahun 2009. Dalam kurun waktu yang sama, kawasan
perkebunan kelapa sawit dari perusahaan perkebunan swasta telah tumbuh dari
sekitar 40.253 ha menjadi 3,5 juta hektar. Perusahaan yang menguasai hutan
tersebut antara lain Nestle, Unilever dan Sinar Mas (Setiawan ; 2011).
5. Penegakan Hukum yang Lemah. Lemahnya penegakan
hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Penegakan
hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya
orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya.
Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang
yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum.
Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada
penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang
berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian
hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan.
Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
6. Mentalitas Manusia yang sering memposisikan
dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk
kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih
sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan
manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi
lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan
dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun
sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya
memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya
hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan
dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan
berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan
pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan
alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi
jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang
exploitatif yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi
pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak
serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat
di dalamnya.
7. Kerusakan hutan dan penyusutan luas lahan hutan di Indonesia
setiap tahunnya sebagian besar diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan
kegiatan pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah/daerah di Indonesia.
Karena jumlah penduduk yang terus
bertambah, degradasi hutan pun terus meningkat. Di samping itu dengan
pembangunan yang terjadi banyak melakukan kegiatan yang merambah hutan,
misalnya transmigrasi, pembalakan dan pertambangan. Sebenarnya pembalakan dan
perladangan tradisional yang dikelola dengan
baik tidak perlu memusnahkan hutan. Sayangnya banyak kegiatan itu tidak
dikelola dengan baik sehingga menyebabkan kerusakan dan meningkatkan laju
degradasi hutan.
2.
Kerusakan Hutan di Nusa Tenggara Timur.
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak
pada 8˚2’25” – 11˚1’ LS dan 118˚55’ – 25˚1’ BT. Luas daratannya sekitar 25%
dari luas total wilayah (47.354,90 Km²) dan terdiri dari 566 pulau, di mana 524
diantaranya tidak dihuni. Merupakan salah satu wilayah di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) daerah beriklim kering (semi
arid) yang didominasi oleh lahan kering. Wilayah Nusa Tenggara Timur secara
agroklimat tergolong sebagai wilayah semiarid dengan ciri musim penghujan yang
singkat (3-4 bulan) dan musim kemarau yang panjang (7-9 bulan). Lahan yang
dapat dijadikan lahan usaha pertanian (arable
lands) di NTT seluas 1.657.858 ha atau meliputi 49,48% dari luas total
wilayah daratan NTT yang terdiri atas 127.323 ha (7,68%) untuk usaha pertanian
lahan basah (sawah) dan seluas 1.530.535 ha atau 92,32% adalah lahan kering (dryland) (Woha, 1994). Faktor-faktor
lingkungan fisik yang mempengaruhi pengembangan pertanian di Nusa Tenggara
Timur adalah topografi dan mutu tanah. Wilayah ini didominasi oleh perbukitan
dan gunung sehingga lahan pertanian terbatas. Adanya lereng-lereng yang curam
menyebabkan resiko erosi tanah yang tinggi. Berdasarkan kondisi topografinya,
sebesar 70% dari luas wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki kemiringan di atas
50%. Sehingga secara alamiah peluang pemiskinan lahan akibat erosi cukup besar
yang masih diperparah lagi oleh ulah manusia dengan kebiasaan membuka lahan
pertanian dengan cara sistem tebas dan bakar sehingga lahan kritis di NTT mencapai
34% dari luas wilayahnya. Penduduk yang hidup dan tinggal di lingkungan
semiarid yang kering dan bergunung-gunung menghadapi berbagai tantangan yang
memerlukan jawaban agar mereka mampu mempertahankan hidupnya, mendorong
penduduk menyesuaikan diri dengan lingkungannnya. Ancaman terhadap kelestarian
lingkungan masih cukup tinggi karena peladangan berpindah masih terjadi,
teknologi “tebas bakar” masih dilakukan secara luas dan peranan ternak dalam
kegiatan usahatani masih terbatas, sedangkan gangguan hewan ternak terhadap
usahatani masih cukup tinggi. Pola pertanian yang dilakukan di NTT adalah
peladangan berpindah, sistem tumpangsari dan budidaya lorong. Kegiatan ladang
berpindah merupakan usaha tani input rendah yang umumnya dilakukan dengan
menggunakan teknik pemangkasan semak-semak dan penebangan beberapa pohon.
Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan proses pembakaran semak-semak yang telah
dipangkas. Saelain itu, adapula yang tidak melakukan kegiatan pembakaran.
Menurut Kasumbogo (2001), pembakaran padang
alang-alang dimusim kemarau oleh petani peladang bertujuan agar merangsang
pertumbuhan rumput-rumput muda sehingga persediaan pakan untuk hewan ternak
tetap tersedia. Pembakaran juga memudahkan petani untuk menugal benih tanaman
pangan sehingga petani tidak perlu melakukan pengolahan tanah. Manfaat lain
dari pembakaran jaringan tumbuhan adalah terbentuknya abu hasil pembakaran
dalam jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah
sedangkan unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya
(Ewusie,1990). Pembakaran yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif
terhadap lingkungan apalagi kondisi iklim di Kawasan Timur Indonesia yang
sebagian adalah beriklim kering. Sesudah kegiatan pembakaran, tanah menjadi
terbuka dan erosi akan lebih cepat terjadi pada saat musim hujan dan
mempercepat habisnya tanah lapisan atas (top
soil). Akibat dari erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30
cm akan habis dalam jangka waktu 3-4 tahun (Suwardjo, 1994). Pembakaran yang
terlalu sering dilakukan dan waktu pembakaran yang dilakukan pada penghujung
musim kemarau akan mempunyai dampak negatif yang sangat besar dan luas terhadap
sifat fisika, kimia dan biologi tanah maupun terhadap bahaya erosi yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Kawasan hutan di
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dianggap kering dan gersang ternyata
tidak menjadi pemahaman untuk menambah dan memperluas kawasan hutan. Justeru
hutan di wilayah ini terus berkurang. Pemerintah Propinsi NTT (Dinas Kehutanan
NTT, 2014) mengemukakan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini kerusakan hutan
mencapai 15.163,65 hektar. Kenyataan ini mengancam kelestarian hutan dan lahan
di masa mendatang. Potensi hutan dan lahan di NTT seluas 2.109.496,76 hektar
atau 44,55 persen dari luas wilayah daratan NTT yang mencapai 47.349,9
kilometer persegi. Hutan dalam kawasan hutan mencapai 661.680,74 hektar dan di
luar kawasan hutan seluas 1.447.816,02 hektar. Dari total potensi hutan itu
hanya 14 persen atau 295.329,44 hektar di antaranya yang dikategorikan sebagai
hutan lebat penghasil kayu. Selebihnya 1.814.617,3 hektar merupakan kawasan
kritis sehingga produksi kayu lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
NTT. Kebutuhan kayu rakyat NTT didatangkan dari Pulau Kalimantan, Sulawesi dan
Pulau Wetar dan daerah kawasan hutan lainnya.
Luas hutan di wilayah Nusa Tenggara Timur
(NTT) sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No 423 Tahun 1999
1.808.990 hektar. Kawasan hutan ini terbagi dalam tiga fungsi, yakni hutan
lindung seluas 41 persen, hutan produksi seluas 40 persen dan hutan 19 persen
hutan konservasi. Propinsi diberi kewenangan untuk mengelola hutan produksi dan
hutan lindung, sedangkan hutan konservasi dikelola oleh oleh Departemen
Kehutanan. Namun kondisi hutan tersebut terus mengalami kerusakan. Bahkan
hingga tahun 2003, luas hutan di NTT berdasarkan foto citra satelit telah
mengalami kerusakan. Diperkirakan, hingga tahun 2014, kerusakan hutan semakin
meluas seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tingkat kerusakan hutan jauh
lebih cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasi hutan. Perbandingan tersebut
adalah 4 berbanding 1, sehingga luas hutan terus berkurang karena upaya
rehabilitasi dan reboisasi yang dilakukan kalah cepat dibandingkan laju
kerusakan hutan. Bila kondisi ini terus berlanjut, dipastikan suatu saat hutan
di NTT akan habis. Pertambahan jumlah penduduk inilah yang menyebabkan kawasan
hutan menjadi sempit, karena kawasan yang tadinya hutan dirambah hingga menjadi
kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan.
Beberapa penyebab kerusakan hutan di NTT adalah pembakaran lahan yang
berakibat pada kebakaran hutan, penebangan liar, bencana alam dan pola
berladang secara berpindah- pindah. Perilaku warga yang membiarkan ternak
berkeliaran bebas dalam kawasan hutan juga menjadi andil kerusakan hutan.
Ternak juga bisa menjadi perusak hutan, misalnya ternak memakan kulit pohon,
sehingga pohon mati. Perilaku lainnya adalah berburu dengan cara membakar
lahan. Ini masih sering terjadi di beberapa daerah di NTT. Ada juga kebakaran
hutan yang terjadi karena alam. Hal ini biasanya pada kawasan padang rumput
yang dekat dengan hutan. Namun ini terjadi bila ada angin, panas dan bahan yang
muda terbakar. Biasanya, rumput kering yang mudah terbakar saling bergesekan
karena angin hingga menimbulkan panas. Panas ini bila terkena pada media yang
mudah terbakar seperti rumput kering, akan tumbul titik api hingga menjadi
kebakaran. Meski demikian, pola perusakan hutan yang dilakukan oleh manusia
masih lebih banyak ketimbang hal lain.
Khusus untuk hutan
lindung, sejumlah hutan lindung di wilayah Nusa Tenggara Timur
mulai dirambah, terutama setelah pasokan kayu dari propinsi lain terhenti
(Subdinas Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan NTT). Aksi penebangan ilegal itu
dikhawatirkan membuat hutan NTT musnah dalam waktu 15 tahun mendatang. Savana
mendominasi daratan NTT yang luasnya 47.749,5 kilometer persegi. Adapun hutan
hanya sekitar 30 persen, tetapi pepohonannya terus ditebang. Berdasarkan hasil
penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang, kebakaran hutan terjadi di banyak
bagian di NTT saat kemarau akibat perladangan berpindah dan anggapan masyarakat
bahwa setelah lahan dibakar akan tumbuh rumput muda yang merupakan pakan
ternak. Kondisi hutan makin memrihatinkan akibat pembalakan. Penebangan liar
terjadi setelah sejumlah propinsi yang selama ini mengirim kayu olahan ke
Kupang dan sekitarnya menghentikan pasokan. Sementara pembangunan perumahan dan
kantor terus berjalan. Peningkatan
jumlah turut memacu aksi pembalakan karena kebutuhan akan perumahan terus
meningkat. Pada 1999, penduduk NTT sekitar 3 juta jiwa dan menjadi 4,3 juta
jiwa pada 2006.
Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa
dampak negatif yang besar di bumi:
- Efek Rumah Kaca (Green house effect). Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas CO2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara) akan menyebabkan kenaikan gas CO2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali kepermukaan bumi oleh lapisan CO2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering.
- Kerusakan Lapisan Ozon. Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi.
- Kepunahan Spesies. Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini.
- Merugikan Keuangan Negara. Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia.
- Banjir. Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Nusa Tenggara Timur (Benenain, Amanuban Selatan, Amanatun selatan dan di Kabupaten Malaka) adalah contoh nyata.
3. Upaya Pihak Terkait Dalam Mengurangi Kerusakan
Lingkungan Khususnya Kerusakan Hutan.
Konsep Marx tentang keterasingan manusia dari
alam atau yang diistilahkan dengan perampasan alam dengan naluri borjuis
penting dipahami mengingat perampasan itu terjadi biasanya diakibatkan oleh
keterasingan manusia dengan menganggap dirinya paling utama dan diatas
segalanya dalam alam semesta ini. Pandangan ekologis perlu ditimbulkan pada
diri manusia agar antroposentrisme
dalam benaknya berubah menjadi makhluk yang sadar betapa tidak mungkin ia hidup
sendiri tanpa makhluk lain disekitarnya. Upaya manusia untuk mengekslploitasi
alam tanpa memperhatikan nilai-nilai ekologis sangat penting dibatasi karena pandangan
Promethean merupakan pandangan
manusia yang pro pada teknologi dan anti akan ekologis. Persoalan pandangan
teknologi kapitalis yang melewati batas-batas ekologis tanpa berpikir tentang
masa depan perlu diganti dengan pemikiran sosialisme yang sadar ekologis dengan
upaya pengalokasian sumberdaya- sumberdaya langka untuk kepentingan masa depan
manusia dan makhluk lainnya. Berikut pandangan tentang efek teknologi bagi
lingkungan patut dikaji dengan baik, sebab perkembangan dan dinamika perubahan
dibidang iptek bagaikan dua sisi koin yang berdampingan selalu (Foster;2000).
Memang terjadi kontradiksi antara penguasaan
alam dan konsep keberlanjutan (sustainability)
yang harus dipahami dengan baik, namun yang pasti pemikiran antroposentrik
rasanya tidak tepat digunakan dalam bagaimana memaknai hubungan dengan alam
sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia melainkan konsep
keberlanjutanlah (sustainability)
yang paling pantas digunakan dalam memahami alam dan interaksi dalamnya. Maka beranjak dari konsep “penguasaan alam”
Caudwell menulis dalam illusion and
reality, (1973), bahwa manusia, dalam perjuangannya dengan alam (yakni
perjuangan mereka untuk kemerdekaan) memasuki hubungan tertentu dengan
masing-masing lainnya untuk memenangkan kemerdekaan itu. Tapi manusia tidak
dapat mengubah alam tanpa mengubah diri sendiri. Pemahaman penuh saling
interpenetrasi gerakan refleksif antara manusia dan alam dimediasi oleh
kebutuhan dan hubungan-hubungan yang berkembang yang dikenal sebagai
masyarakat, adalah pengakuan kebutuhan, tidak hanya dalam alam, namun dalam
diri kita sendiri, dan dengan demikian dalam masyarakat. Dilihat secara aktif
hubungan subyek-obyek ini adalah sains,
dilihat secara subyektif adalah seni; namun seperti kesadaran tumbuh dalam
kesatuan aktif dengan praktek, itu sederhananya adalah kehidupan
konkrit-keseluruhan proses kerja, merasa, berpikir dan berkelakuan seperti
individu manusia dalam sebuah dunia individu-individu dan alam. Pengantar
persepsi diatas mengantarkan kita pada pemahaman betapa manusia perlu
merefleksikan kembali tentang bagaimana akar permasalahan kita ada pada
peringatan Malthus tentang pertumbuhan penduduk yang perlu ditekan sebelum
terjadinya perampasan sumberdaya dan kesewenang-wenangan terhadap alam dan
makhluk hidupa lainnya oleh manusia.
Khusus pada konteks kerusakan
lingkungan-kerusakan hutan, perlu upaya strategis merubah paradigm dan menuju
pada langkah-langkah konkrit sebagai pelengkap mengatasi persoalan lingkungan
yang ada disekitar kita. Adapun upaya mengatasi kerusakan hutan dapat dilakukan
cara-cara konkrit seperti :
- Menyadarkan masyarakat akan dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan dan tidak melakukan . penebangan hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan yang memotivasi warga untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Memberikan penyuluhan tentang pentingnya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pembangunan yang ramah lingkungan. Khusus mengenai sistim perladangan berpindah perlu penanganan serius untuk memperkenalkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan sehingga sistim tebas bakar perlahan-lahan ditinggalkan. Gerakan yang telah dilakukan pemerintah adalah Gerakan Nasional Penanaman Pohon untuk menopang ketahanan pangan dan energy sesuai dengan Keppres No. 24 tahun 2008 tentang hari menanam pohon Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon Nasional sebagai upaya mewujudkan visi pembangunan berkelanjutan yang sensitive lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global.
- Menetapkan peraturan-peraturan tentang yang mengatur penebangan hutan kemudian diikuti dengan pengawasan,pengendalian, dan pengelolaan hutan. Peraturan dapat berupa peraturan formal misalnya Undang-undang tentang lingkungan hidup Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang pokok-pokok pengelolaan Lingkungan hidup atau kesepakatan antar warga dengan kearifan lokal dan kekayaan budaya yang ada.
- Pentingnya sumbangan pendidikan Geografi sebagai sistim pendidikan yang mengkaji ekologi (lingkungan) secara mendalam. Peserta didik merupakan penerus kehidupan manusia perlu dibekali dengan pemahaman mendalam terkait pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Geografi dengan tiga pendekatan kajiannya (keruangan, kelingkungan dan kompkleksitas wilayah) mempelajari secara khusus tentang lingkungan (perilaku, gejala) habitat, site, territorial lingkungan alam fisik (physical natural environment), lingkungan budaya (cultural environment), persepsi, sumber daya (resources), kualitas tanah, potensi tanah, konservasi, ekosistem, equilibrium, efisiensi. Geografi secara khusus mempelajari permasalahan keruangan dan pembangunan, penilaian dampak lingkungan norma dan kriteria dampak lingkungan, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini langkah jangka panjang mempersiapkan manusia yang ahli dan bertanggung jawab, bertindak dengan berpikir keberlanjutan.
- Praktisnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah untuk mengatasi kerusakan hutan antara lain : Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan harus segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan harus untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan pemulihan terhadap kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada 10-15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti dahulu. Pelaksanaan penghijauan tersebut harus lebih mengaktifkan masyarakat lokal (masyarakat yang berada di sekitar hutan ) untuk secara sadar dan spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut. Langkah kedua, pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta rekayasa kehutanan. Langkah ketiga adalah pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong - cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal - hal yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya pemerintah mengadakan revisi terhadap undang - undang tersebut sepanjang tujuan awal pembuatan undang - undang itu tidak dilanggar. Langkah terakhir adalah adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini. Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri. Pemerintah harus melakukannya secara kontinyu dan terus - menerus sehingga kalaupun ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat segera diambil langkah yang tepat serta dapat mengurangi akibat bencana/ disaster yang akan ditimbulkan kemudian.
Bab IV
Penutup
a.
Kesimpulan.
Isu-isu aktual
tentang lingkungan semakin beragam
karena lingkungan hidup manusia menjadi tumpuan makhluk hidup, tumpuan umat
manusia untuk hidup dan berkembang sehingga memicu munculnya berbagai konflik
dan kepentingan. Beberapa fakta terkait tingginya kerusakan lingkungan
di Indonesia diakibatkan oleh
kegiatan manusia dibanding kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Khusus
mengenai kerusakan lingkungan dalam hal ini kerusakan hutan di Indonesia dan di
Nusa Tenggara Timur terutama disebabkan oleh,
Sistem perladangan berpindah, Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara
kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan
konflik antar hukum adat dan hukum positif Negara, Perambahan hutan, Pengusaha
HPH (Hak Pengusahaan Hutan), Penegakan Hukum yang Lemah, pertumbuhan penduduk
dan kegiatan pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah/ daerah di Indonesia
dan Mentalitas Manusia yang sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang
memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan
hutan.
Pemerintah Propinsi NTT (Dinas Kehutanan NTT,
2014) mengemukanan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini kerusakan hutan mencapai
15.163,65 hektar. Kenyataan ini mengancam kelestarian hutan dan lahan di masa
mendatang. Diperkirakan, hingga tahun 2014, kerusakan hutan semakin meluas
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tingkat kerusakan hutan jauh lebih
cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasi hutan. Perbandingan tersebut
adalah 4 berbanding 1, sehingga luas hutan terus berkurang karena upaya
rehabilitasi dan reboisasi yang dilakukan kalah cepat dibandingkan laju
kerusakan hutan. Bila kondisi ini terus berlanjut, dipastikan suatu saat hutan
di NTT akan habis.
Berangkat dari data diatas, adapun upaya Pihak Terkait Dalam Mengurangi Kerusakan
Lingkungan Khususnya Kerusakan Hutan antara lain, penyadaran kepada masyarakat
dalam bentuk penyuluhan, Gerakan yang telah dilakukan pemerintah adalah
Gerakan Nasional Penanaman Pohon untuk menopang ketahanan pangan dan energi,
Menetapkan peraturan-peraturan tentang yang mengatur penebangan hutan kemudian
diikuti dengan pengawasan,pengendalian, dan pengelolaan hutan, sumbangan
pendidikan Geografi sebagai sistim pendidikan yang mengkaji ekologi
(lingkungan) secara mendalam, dan berbagai langkah konkrit oleh semua pihak
terkait dalam upaya melestarikan lingkungan khususnya mengurangi dampak kerusakan
lingkungan di Nusa Tenggara Timur.
b.
Saran.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka beberapa saran dapat
dikemukakan antara lain :
- Mencermati fakta dan data kerusakan lingkungan khususnya kerusakan hutan yang sangat fatal, maka disarankan kepada semua pihak untuk benar-benar mempelajari persoalan lingkungan khususnya terkait dengan kerusakan hutan dan mengawal segala peraturan serta rencana yang telah ditetapkan agar dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan khususnya kerusakan hutan umumnya di Indonesia dan khsususnya di Nusa Tenggara Timur.
- Sistim perladangan berpindah dan praktek-praktek bertani masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan telah berlangsung turun-temurun perlu dikaji kembali dan disosialisasikan agar ada budaya baru dalam bertani yang lebih ramah lingkungan.
- Kepada akademisi, aktifis dan ilmuwan untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan guna memberi data yang akurat dan pasti terkait kerusakan hutan yang terjadi serta kemungkinan dampak yang timbul agar dapat diantisipasi dengan berbagai kegiatan bernuansa pemeliharaan lingkungan, khususnya menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan agar sensitif lingkungan, kerusakan hutan dan berparadigma pembangunan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Alfandi Widoyo, 2001; Epistemologi Geografi, Gadjah mada University
Press, Yogyakarta
Arjana I. Gusti Bagus, 2013: Geografi
Lingkungan-Sebuah Introduksi, Rajawali Press, Jakarta
Bintarto, Hadisumarno Surastopo, 1979;
Metode Analisa Geografi, LP3ES, Jakarta
Foster Jhoni Bellamy, 2013; Ekologi
Marx-Materialisme dan Alam, Printmax, Jakarta
Hidayatullah
M, 2008; Rehabilitasi Lahan Dan Hutan Di Nusa Tenggara Timur (Land and Forest Rehabilitation in East Nusa
Tenggara), Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Kupang
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_masalah_lingkungan
http://organisasi.org/macam-jenis-hutan-di-indonesia-dan-fungsi-hutan-untuk-kehidupan-di-muka-bumi-ipa-geografi
Numberi Freddy, Transportasi dan Perubahan
Iklim, Buana Ilmu Populer, Jakarta
Prasetyantoko Agustinus, Setiawan Dani, 2011;
Pendanaan Iklim-antara kebutuhan dan keselamatan rakyat, Walhi, Jakarta
Soemarwoto Otto, 2001; Analisis
Mengenal Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
www.republika.co.id